Oleh: Jamhuri
Setelah membaca dan mempelajari serta memperhatikan beberapa pemberitaan menyangkut tentang keberadaan dan operasional serta phenomena alam di lingkungan gedung Jambi Business Centre (JBC), hasil perjanjian kerjasama antara pihak Pemerintah Provinsi Jambi dengan pihak PT. Putra Kurnia Properti beberapa tahun yang lalu tepatnya pada rezim kekuasaan Hasan Basri Agus (HBA) sebagai Gubernur Kepala Daerah.
Melihat catatan sejarah sejak dari awal proses kerjasama Bangun Guna Serah atau Build Operate Transfer (BOT) tersebut telah mengandung polemic dan/atau bersifat kontroversial yang ditandai dengan adanya penandatanganan persetujuan antara pihak Gubernur (Eksekutive) dengan pihak Ketua DPRD Provinsi Jambi sebagai yang berhak menyandang status legislative dan penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) oleh Badan Pertanahan Kota Jambi yang dilakukan pada saat lahan tempat pembangunan gedung tersebut sedang berstatus sebagai obyek perkara di Pengadilan Negeri Jambi yang secara normative seharusnya berada dalam status quo.
Padahal Pemerintah Provinsi Jambi, Kakanwil BPN dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Jambi adalah pihak tergugat dalam perkara tersebut.
Beberapa hari yang lalu sebagaimana pemberitaan sejumlah media on line dapat diketahui bahwa Management dari pengembang bangunan hasil kerjasama tersebut memberikan sesuatu barang atau benda yang dikatakan sebagai dan/atau merupakan bagian dari program tanggung jawab sosial perusahaan yang bertujuan untuk membantu masyarakat dalam menyambut Idul fitri dengan lebih nyaman dan penuh berkah yaitu sesuatu barang atau benda yang diberi nama hampers kepada masyarakat sekitar dan satu pesantren atau rumah al qur’an dalam Kota Jambi.
Suatu tindakan luar biasa dalam memanfaatkan momen keyakinan (sacral) keberkahan bulan suci Ramadhan dengan segala macam pernak pernik nuansa dari kultur budaya religious islami yang terkandung dalam ajaran tentang faidah dan manfaat dari setiap perbuatan baik dalam bulan suci tersebut.
Aksi yang dikatakan sebagai wujud dari kepedulian sosial tersebut diberikan pada saat yang tepat yang didorong dengan tingginya keyakinan religious masyarakat dan disaat setelah adanya polemic yang menuding JBC sebagai penyebab banjir yang terjadi melanda pemukiman masyarakat setempat.
Polemik yang membuat kesempatan bagi sejumlah personil Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Jambi turun kelapangan guna meninjau ke lokasi yang dituding tersebut untuk membuat suatu kebijakan yang berlandaskan atau berdasarkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai perwujudan dari kehadiran negara dalam membela kepentingan harkat dan martabat serta hajat hidup masyarakat ataupun orang banyak (rakyat).
Sayangnya sampai hari ini belum ada releas resmi dari Pemerintah Kota Jambi terkait polemic seperti yang didugakan oleh masyarakat tersebut dan sepertinya kebijakan yang dihasilkan dari peninjauan lapangan tersebut akan terkubur dengan adanya kegiatan bagi-bagi hampers tersebut.
Sehubungan dengan waktu pemberian tersebut sepertinya amat sangat identic dengan suatu paham dalam budaya dunia kejahatan (criminal) yaitu adanya pemberian Suap dari satu pihak kepada pihak lainnya dengan tujuan untuk mempengaruhi agar penerima berbuat dan bertindak sesuai kewenangan ataupun pengaruhnya atau mempengaruhi tindakan atau keputusannya.
Akan tetapi dalam konteks apa yang dilakukan oleh pengembang bukan termasuk pada kategori suap menyuap dalam ranah Tindak Pidana Korupsi.
Akan tetapi dengan mengingat pemberian tersebut diberikan pada saat atau setelah adanya polemic sebagaimana diatas dan penerima dari pemberian tersebut adalah pemegang kedaulatan tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia, walau hal tersebut tidak termasuk pada kategori ataupun pengertian suap sebagaimana kaidah atau norma dan azaz tindak pidana korupsi akan tetapi hal tersebut dapat atau layak untuk dinilai sebagai bagian dari bahasa pendekatan (approach) guna meredam nilai-nilai kritis masyarakat terhadap persoalan yang ada dirasakan oleh masyarakat serta dilakukan dengan memanfaatkan kultur budaya peradaban ketimuran yaitu budaya terimakasih.
Penomena sebagaimana diatas cukup miris pengetian jika dilihat atau jika merujuk pada etimologi kata Suap (bribery) yang berasal dari kata briberie yaitu suatu kosakata dalam Bahasa Perancis yang arti harfiahnya adalah ’begging’ (mengemis) atau ’vagrancy’ (penggelandangan), yang dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya ’a piece of bread given to beggar’ (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Dalam perkembangannya bribe bermakna ’sedekah’ (alms), ’blackmail’, ataupun ’extortion’ yang diartikan sebagai pemerasan. Pengertian tersebut diberikan dalam kaitannya dengan ’gifts received or given in order to influence corruptly’ (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat atau korup).
Dengan demikian seseorang yang terlibat dalam perbuatan suap menyuap sebenarnya tidak lagi memiliki yang seharusnya dimiliki yaitu rasa malu apabila menghayati makna dari kata suap yang sangat tercela dan bahkan sangat merendahkan martabat kemanusiaan, terutama bagi si penerima suap, sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Muladi, SH. Dalam artikelnya yang berjudul Hakekat suap dan Korupsi.
Korupsi sendiri secara universal diartikan sebagai bejat moral, perbuatan yang tidak wajar, atau noda (depravity, perversion, or taint); suatu perusakan integritas, kebajikan, atau azaz- azaz moral (an impairment of integrity, virtue, or moral principles).
Suap tidak lagi dipandang hanya sebagai kejahatan konvensional, melainkan dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), atau kejahatan berkerah putih (White Collar Crime) karena karakter suap yang sangat kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan pelbagai dimensi kepentingan).
Kejahatan kerah putih adalah tindak kriminal yang dilakukan oleh orang berstatus sosial tinggi atau yang memegang posisi penting dalam suatu organisasi. Kejahatan ini umumnya tidak melibatkan kekerasan fisik. Ciri-ciri kejahatan kerah putih berasal dari frasa “pekerja kerah putih” ,biasanya pekerja profesional, administratif atau kantoran dengan ciri-ciri Non-kekerasan, Canggih dan tidak disertai kekerasan, Lebih strategis, inovatif, dan direncanakan dengan cermat untuk menghindari deteksi serta Kerap kali sulit dideteksi karena modus dan pelakunya yang cerdik.
Secara empiris terbukti bahwa kemungkinan keterkaitan antara suap dan bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisasi (terorisme, perdagangan orang, penyelundupan migran gelap dan lain-lain) dan kejahatan ekonomi termasuk tindak pidana pencucian uang, yang menempatkan tindak pidana korupsi termasuk suap sebagai salah satu bentuk kejahatan yang menghasilkan atau merupakan sumber dana yang bisa dicuci (predicate crime).
Dari berbagai perspective (sudut pandang) sebagaimana diatas tidak dapat ditemukan satu bentuk pemikiranpun yang dapat dijadikan dalil ataupun suatu refrensi untuk melakukan pembenaran atau membenarkan hampares ataupun parcel adalah merupakan sesuatu cara yang dapat digunakan ataupun dapat dijadikan sebagai bagian daripada pelaksanaan prinsip hukum lingkungan berbayar, dimana pada prinsip tersebut yaitu suatu pelaksnaan hukum yang mewajibkan pelaku usaha untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu jika mencemari atau merusak lingkungan.
Prinsip ini disebut sebagai asas pencemar membayar atau polluter pays principle. Jika Hampers oleh management pengembang JBC adalah implementasi daripada prinsif hukum lingkungan tersebut artinya Hukum Lingkungan di Indonesia tidak lebih daripada sekedar ataupun seharga Hampers.
Merujuk pada etimologi dan sejarah Hampers yang memiliki asal-usul dari kawasan wilayah Eropa tepatnya Inggris dan Prancis, di mana sebagai keranjang hadiah (hampers) ini digunakan oleh bangsawan untuk mengirimkan makanan dan hadiah kepada keluarga serta teman selama perayaan besar.
Mengutip Cambridge Dictionary, hampers adalah merupakan kotak yang berisi makanan dan minuman yang umumnya diberikan sebagai hadiah, contohnya saat Natal.
Definisi tersebut mengartikan bahwa hampers merupakan bentuk hadiah dalam rangka merayakan hari besar.
Bertolak dari sejarah dan pengertian sebagaimana diatas dapat diartikan bahwa Hampers bukanlah suatu kebudayaan yang merupakan bagian ataupun instrument hukum lingkungan karena secara normative kaidah atau norma hukum lingkungan di Indonesia menganut dan/atau menerapkan Prinsip pencemar membayar. Prinsif yang pertama kali diperkenalkan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 1972.
OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi adalah organisasi internasional yang bertugas mempromosikan kebijakan ekonomi dan sosial di seluruh dunia) yang mengeluarkan rekomendasi yang bernama “Guiding Principles Concerningnthe International Economic Aspects of Environmental polluter pays principle” (prinsip pencemar membayar).
Pada prinsipnya Rekomendasi OECD 1972 yang dimaksud memiliki makna Pencemar wajib menanggung beban biaya pencegahan dengan tolak ukur jelas yang ditetapkan oleh pejabat berwenang dengan tujuan memastikan lingkungan pulih. Biaya tersebut harus direfleksikan sebagai biaya barang dan jasa penyebab pencemaran dan tidak dapat disertai subsidi yang menimbulkan penyimpangan dalam perdagangan internasional dan investasi.
Setelah rekomendasi sebagaimana diatas kemudian, prinsip pencemar membayar kembali diterapkan dalam Prinsip 16 Rio Declaration on Environment and Development 1992 atau yang lebih dikenal dengan sebutan Deklarasi Rio 1992 yang menyatakan bahwa pencemar pada hakikatnya wajib menanggung biaya pencemaran dengan memperhatikan kepentingan publik serta dengan tanpa menyimpangi perdagangan internasional dan investasi, berdasarkan standar biaya lingkungan yang wajib dikembangkan oleh pejabat berwewenang.
Biaya pencemaran yang dimaksud adalah merupakan biaya pencegahan dan pengendalian pencemaran. Indonesia menerapkan prinsip pencemar membayar sebagai salah satuasas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Prinsip pencemar membayar pertama kali diterapkan sebagai asas dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang 23 tahun 1997 menjelaskan bahwa pencemar harus membayar ganti rugi dan hakim dapat membebani pencemar untuk melakukan tindakan hukum tertentu.
Tindakan hukum tertentu tersebut berupa pemasangan atau perbaikan unit pengolahan limbah supaya limbah sesuai baku mutu lingkungan hidup, pemulihan fungsi lingkungan hidup hingga, perintah untuk menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran.
Azaz pencemar membayar kembali diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 yang pada penjelasan daripada Pasal 2 huruf j memuat ketentuan yang mengatur tentang azaz pencemar membayar, dengan amanat: “Yang dimaksud dengan “azaz pencemar membayar” adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan”, dan azaz Asas pencemar membayar ini diterapkan pada berbagai instrumen dalam Undang-Undang Lingkungan dimaksud.
Dikarenakan, azaz dalam suatu peraturan perundang-undangan diterapkan berada di dalam batang tubuh peraturan tersebut maka di dalam penerapannya dan/atau pelaksanaannya mengandung unsur yang diantaranya merupakan instrumen pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan, serta penegakan hukum.
Salah satu ketentuan sebagai bentuk implementasi daripada prinsip hukum lingkungan pencemar berbayar dengan amanat konstitusional sebagaimana yang telah diatur dengan Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa ”Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan atau tindakan tertentu”.
Secara normative prinsip Pencemar Membayar pada dasarnya merupakan sebuah kebijakan ekonomi dalam rangka pengalokasian biaya-biaya bagi pencemaran dan kerusakan lingkungan, tetapi kemudian memiliki implikasi (keterlibatan) bagi perkembangan hukum lingkungan baik lingkungan internasional maupun lingkungan nasional, yaitu dalam hal terkait dengan masalah tanggung jawab ganti kerugian atau dengan biaya-biaya lingkungan yang harus dipikul oleh pejabat publik.
Baik sebagian kecil maupun secara keseluruhan dari prinsip, kaidah atau norma maupun dari segi instrument hukum lingkungan sebagaimana diatas tidak ada satupun ditemukan kata ataupun frasa yang dapat dijadikan dalil atau dasar untuk melakukan pembenaran terhadap penggunaan Hampers sebagai suatu tindakan ataupun konsekwensi hukum atas sesuatu kejadian yang berdampak pada perubahan lingkungan yang dirasakan oleh masyarakat.
Merujuk pada etimologi dan historis hampers sebagaimana diatas pemberian hampers oleh pihak yang berbuat dan bertindak atas nama PT. Putra Kurnia Properti tidak juga dapat dikatakan sebagai suatu tindakan sosial sesuai dengan pengertian dari kata-kata yang digunakan sebagai suatu uraian bagi pemanis ucapan atau basa-basi (lip Services) tersebut. Bahkan ungkapan tersebut tidak sama sekali memiliki hubungan dengan prinsip-prinsip sosial sebagaimana pada regulasi menyangkut Corporate Social Responbility (CSR).
Dimana CSR adalah suatu konsep yang menekankan bahwa setiap badan usaha atau perusahaan memiliki tanggung jawab untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan di sekitar, melampaui kewajiban hukum dan ekonomi, yaitu suatu tanggung jawab sosial perusahaan yang mencakup komitmen untuk beroperasi secara etis, mematuhi hukum, dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal, dan masyarakat luas dengan tujaun menciptakan nilai bersama bagi perusahaan dan masyarakat, serta membangun reputasi yang baik.
Aspek-aspek CSR terdiri atas Aspek Lingkungan yang meliputi pengelolaan limbah, mitigasi (upaya mengurangi resiko) perubahan iklim, dan penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, dengan berbagai aspek, antara lain aspek Sosial yang terdiri/meliputi pemberdayaan masyarakat, pendidikan, kesehatan, dan keadilan sosial, serta aspek Ekonomi yang terdiri atas penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, dan pembangunan ekonomi lokal.
Dengan memberikan manfaat baik bagi masyarakat pada umumnya maupun bagi Perusahaan itu sendiri. Kemanfaatan bagi pelaku CSR yaitu meningkatkan citra dan reputasi perusahaan, meningkatkan daya saing, dan menarik investor, dan manfaat bagi masyarakat meningkatkan kualitas hidup, menciptakan lapangan kerja, dan mengembangkan potensi lokal.
CSR (Corporate Social Responsibility) sendiri mengandung prinsip-prinsip yaitu akuntabilitas, transparansi, dan keberlanjutan. Dengan pengertian masing-masing prinsip yang diawali dengan prinsip Akuntabilitas yang memberikan penekanan bahwa perusahaan bertanggung jawab atas tindakan, keputusan, dan kebijakan yang ditetapkan.
Bertanggung jawab atas dampak sosial dan lingkungan dari aktivitasnya, serta wajib bertanggung jawab terhadap dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan.
Prinsip yang pertama dan yang paling utama dalam kepedulian sosial perusahaan adalah prinsip keberlanjutan yang identik atau erat sekali dengan prinsip yang berlaku pada kaidah atau norma hukum lingkungan yaitu prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development).
Yaitu suatu prinsip yang memperhatikan keberlanjutan akan sumber daya alam untuk generasi yang akan datang, yang dilakukan dengan cara mempergunakan sumber daya alam (SDA) secara baik dan bijak dengan memperhitungkan nasib dan rezeki generasi yang akan datang, bertanggung jawab secara sosial terhadap lingkungan serta membangun kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri, serta memanfaatkan sinergi dari semua pihak untuk menciptakan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat.
Secara sederhana, CSR dapat diartikan sebagai komitmen berkelanjutan dari perusahaan untuk bertindak secara etis, legal, dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup dari pekerja dan keluarga, komunitas lokal, hingga masyarakat secara keseluruhan. Di Indonesia sendiri peraturan mengenai CSR sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomr 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT).
CSR tidak hanya selalu tentang persoalan donasi atau program amal ibadah, tetapi bisa mencakup etika bisnis, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Secara konstitusional Pasal 74 Undang-Undang PT tersebut menerangkan bahwa perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jika kewajiban ini tidak dijalankan, perusahaan akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya sebagai petunjuk pelaksanaan daripada ketenutan sebagaimana Undang-Undang Perseroan tersebut maka oleh Pemerintah diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.
Kembali kepersoalan Lingkungan hidup dimana menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Menurut pendapat Siti Sundari Rangkuti, dalam bukunya yang berjudul Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional Edisi Kedua, Airlanggga University Press, Surabaya, (2000 halaman 14-15) Lingkungan sudah merupakan milik bersama (public property) sehingga tidak seorang pun diperkenankan mencemarkannya.
Sementara kenyataannya aktivitas pembangunan saat ini menunjukkan implikasi yang signifikan terhadap lingkungan hidup. Bahkan tidak jarang bila aktivitas pembangunan justru mengandung risiko pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup yang dapat merusak struktur dan fungsi dasar.
Terlebih dengan perubahan pada masyarakat yang berubah menjadi masyarakat industri (industry society).
Mengacu pada prinsip hukum Hukum Lingkungan dan kaidah atau norma CSR maka akan terjadi sebagaimana ungkapan Yusuf Wibisono, (2007), dalam bukunya yang berjudul Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, (Gresik, hal. xxiv) yang menekankan pada prinsipnya perusahaan tidak lagi sekedar menjalankan kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit (keuntungan) dalam menjaga kelangsungan usahanya, melainkan juga memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungannnya sehingga masyarakat mencapai kondisi kehidupan yang lebih baik (social benefit).
Menyangkut hal tersebut Ridwan Khaerandy memberikan pandangan dilihat dari sudut pandang hukum bisnis, setidaknya ada dua tanggung jawab yang harus dicermati dalam etika bisnis. Tanggung jawab tersebut yaitu tanggung jawab hukum (legal responsibility) yang meliputi aspek perdata (civil liability) dan aspek pidana (crime liability), dan aspek tanggung jawab sosial (social responsibility) yang dibangun di atas landasan norma moral yang berlaku di dalam masyarakat.
Dengan membandingkan antara Historis dan Etimologi Hampers serta dengan merujuk pada kemanfaatan sebagaimana diatas ditinjau dengan perspective hukum lingkungan dan kaidah atau norma tanggap sosial badan perseroan kira-kiranya kita perlu sama-sama kembali bangku pendidikan yang paling dasar untuk dapat melihat dan berpikir dengan tepat dan benar hingga dalam setiap tindakan perbuatan tidak menimbulkan kesan melakukan pembenaran agar terlihat bersih ditengah-tengah lingkungan yang kotor, atau suatu penampilan yang teramat sangat jauh dari kemunafikan.
Atau suatu bentuk penampilan yang menampilkan wajah asli dari sosok kepribadian makhluk atau insan yang menyandang status makhluk mulia yang memilik kadar religious tingkat tinggi dengan tidak pernah berpikir untuk mengorbankan nilai-nilai kesakralan dan/atau kesucian suatu keyakinan yang diimani serta mengingat bahwa semua yang dimiliki adalah amanah yang harus dijaga yang sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup generasi yang akan datang dengan tidak menjadikan harga hukum lingkungan tidak lebih mahal ataupun setara dengan hampers ataupun bakul nasi.
Sesungguhnya harkat dan martabat serta kehormantan bangsa ini tergantung pada kwalitas kesadaran masyarakat itu sendiri untuk mendukung dan mendorong penegakan hukum. Kesadaran yang tanpa tekanan interpensi dan intimidasi serta apapun bentuk rongrongan moril yang menjadi momok sakti menghantui keinginan masyarakat.(J24-Penulis Adalah Direktur Eksekutive LSM Sembilan)
0 Komentar