Meilina ( Foto: Istimewa / BBC.com ) |
Meiliana membantah tuduhan melakukan penistaan agama.
Dalam dakwaan jaksa, Meiliana dianggap melanggar Lasal 156 dan Pasal 156a huruf a KUHAPidana tentang permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, pada 22 Juli 2016 lalu.
Medan - Meiliana (44), terdakwa kasus penistaan agama di Kota Tanjung Balai, yang divonis 1,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (21/8/2018) kemarin, memastikan akan mengajukan banding atas putusan hakim tersebut.
"Setelah mendengar putusan hakim, kita langsung mengutarakan banding. Sebab, keputusan hakim itu belum memenuhi rasa keadilan," ujar kuasa hukum Meiliana, Rantau Sibarani kepada SP di Medan, Sumatera Utara, Kamis (23/8/2018) malam.
Sibarani mengatakan, pengajuan banding pascakeputusan pengadilan itu belum dapat mereka lakukan karena pihak pengadilan sendiri belum menyerahkan salinan putusan hukuman penjara 1 tahun, enam bulan penjara tersebut.
"Kami sudah mendatangi pengadilan untuk meminta salinan putusan tersebut. Sayangnya, pihak pengadilan belum dapat menyerahkan salinan putusan karena belum ditandatangani oleh ketua pengadilan. Padahal, pengajuan banding ada tenggang waktu beberapa hari setelah putusan," ungkapnya.
Menurutnya, Meiliana tidak pantas dihukum. Sebab, kliennya itu tidak ada melakukan penistaan agama. Sebaliknya, Meiliana merupakan korban dari ketidakadilan atas tuduhan melakukan penistaan agama di tahun 2016 lalu tersebut.
"Dia korban verbal massa. Bahkan, satu keluarga mereka menjadi trauma atas kejadian tersebut. Saat kejadian, rumahnya dilempari sampai hancur. Ada sekelompok orang yang melakukan penjarahan. Dalam kasus ini, Meiliana seharusnya korban," ungkapnya.
Ditambahkan, adanya provokasi dari pihak tertentu yang mengakibatkan kejadian itu sampai berujung pada pembakaran belasan vihara di Tanjung Balai. Massa yang turun ke jalanan mencapai ribuan orang. Mereka melempari vihara menggunakan batu yang kemudian membakarnya.
"Awal dari peristiwa ini sepele. Meiliana menyampaikan kepada tetangga, bahwa suara azan dari masjid lebih deras dari biasanya. Jarak rumahnya dari masjid hanya sekitar 7 meter. Dia tidak ada melarang suara azan berkumandang. Itupun disampaikan kepada Kak Uwo tetangganya, bukan bertujuan disampaikan untuk umum," ungkapnya.
Sayangnya, setelah menyampaikan itu, tetangganya itu memberitahukan kepada adiknya, kemudian dilanjutkan dengan orangtuanya. Setelah kejadian itu, informasi miring kemudian menyebar, menyebutkan Meiliana melakukan pelecehan dan menistakan agama.
Dalam sidang yang diketuai hakim PN Medan, Wahyu Prasetyo Wibowo, Rabu (8/8/2018) lalu, Meiliana membantah tuduhan melakukan penistaan agama. Dia menganggap dirinya tidak bersalah. Kasus itu membuat dirinya beserta keluarga mengalami trauma.
Meiliana mengungkapkan, dirinya tidak pernah meminta volume azan dari masjid supaya dikecilkan. Meiliana juga tidak ada menyampaikan ke Kak Uwo supaya memberitahukan kepada Pak Makmur, supaya mengecilkan volume. Dia hanya menyampaikan bahwa suara azan yang didengar itu lebih deras dari biasanya.
"Saya memahami dan mengetahui nilai - nilai toleransi di Indonesia. Bahkan, asisten rumah tangga saya juga seorang muslim. Asisten saya juga merasa sedih, dan turut membersihkan kepingan kaca yang berserakan akibat dilempar menggunakan batu," ungkapnya.
Dalam dakwaan jaksa, Meiliana dianggap melanggar Lasal 156 dan Pasal 156a huruf a KUHAPidana tentang permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, pada 22 Juli 2016 lalu. Meiliana meminta volume suara azan Isya di Masjid Al Mahsun Tanjung Balai, dekat rumahnya itu supaya dikecilkan.
Hakim Pengadilan Negeri Medan, Wahyu Prasetyo Wibowo, Selasa (21/8/2018) kemarin, akhirnya menjatuhkan vonis terhadap Meiliana dengan hukuman 18 bulan penjara.
"Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan dengan ini menyatakan perbuatan terdakwa atas nama Meiliana terbukti melakukan unsur unsur penistaan agama sehingga hakim memutuskan Meiliana dengan hukuman penjara selama 1,5 Tahun dan denda sebesar lima ribu rupiah," sebutnya.(*)
Sumber: Suara Pembaruan
0 Komentar