Oleh : Yoes Rizal Selian
Sistem Nepotisme Menghambat Karier Kader Partai
Salah satu penyebab mengapa kini para Kader muda dari PDI.P diperkirakan beralih mendukung Prabowo Subianto menjadi Presiden pada Pemilu Pilpres 2023 dari sebelumnya mendukung Calon Presiden dari PDI.P Ganjar Pranowo adalah karena masih menguatnya “Sistim Nepotisme” yang diterapkan di Partai berlambang Banteng tersebut dibawah Pimpinan Megawati Soekarno Putri.
“Sistim Nepotisme” (Lebih mementingkan garis keturunan /keluarga) didalam menjalankan Organisasi Partai dan Kekuasaan yang diterapkan oleh Ketua Umum PDI.P telah menimbulkan Distorsi yaitu karier para Kader muda PDI.P untuk maju dan berimprovisasi didalam Partai untuk menduduki jabatan secara berjenjang menjadi terhambat (buntu).
Hal ini karena setelah berakhirnya zaman “Orde Baru” masuk kezaman “Era Revormasi” maka Megawati dengan Legimitasinya sebagai generasi penerus kepemimpinan mantan Presiden Soekarno yang juga adalah Ayahnya tetap bertahan dikursi tampuk Pimpinan PDI.P (5 masa jabatan Presiden yakni BJ. Habibie, Gusdur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo).
Selanjutnya “Orang Kedua” dibawah Ketua Umum PDI.P Megawati adalah diangkat Puan Maharani yang Notabennya adalah anak Megawati dan masih sangat muda usianya dan belum matang berorganisasi sedangkan selain Puan Maharani sebenarnya masih ada Kader di Partai yang lebih berbobot dan ”Jam Terbangnya” lebih tinggi dari Puan Maharani.
Dan akibat “Sistim Nepotisme” yang diterapkan maka juga karier para Kader PDI.P yang ditempatkan di Eksekutif (Pemerintahan) dan Legislatif (DPR.RI) menjadi terhambat.
Di Kabinet Presiden Megawati pada saat Puan Maharani ditetapkan menjadi Menteri maka hasilnya sangat mengecewakan karena menurut hasil penelitian Litbang Majalah “Tempo” maka Puan Maharani prestasinya salah satu paling buruk dari semua Menteri.
Selanjutnya setelah tidak berhasil di Pemerintahan (Eksekutif) maka Puan Maharani diorbitkan menjadi Pimpinan (Ketua DPR.RI) karena PDI.P menang dalam Pemilu tapi di DPR.RI juga Puan Maharani kurang berprestasi atau tidak menonjol sebagai Ketua DPR.RI.
Presiden Jokowi Mengikuti Jejak Megawati
Kemudian Presiden Jokowi pada jabatan Kabinet mengikuti jejak yang dilakukan oleh seniornya Megawati dengan menerapkan “Sistim Nepotisme” yaitu anak sulungnya Gibran yang semula digembar-gemborkan akan diorbitkan menjadi “Pengusaha Sukses” tapi kemudian ternyata diorbitkan menjadi Calon Walikota Surakarta (Solo).
Akibatnya menjadi fatal karena DPC.PDI.P Kota Surakarta (Solo) yang telah mencalonkan Wakil Walikota Surakarta dan sekaligus Ketua DPC PDI.P Kota Surakarta menjadi Calon Walikota.
Ketua DPC.PDI.P dijamu oleh Presiden Jokowi ke Jarkarta dan sekembali dari Jakarta harus “Gigit Jari” karena terpaksa legowo mengundurkan diri dari pencalonan Walikota dan Gibran (Ank Presiden Jokowi) dengan mulus menang dalam pemilihan Walikota Surakarta melawan Calon Walikota dari “Wong Cilik” miskin (Tukang Becak) yang dicalonkan melalui jalur Independen(Non Partai).
Demikian juga halnya dengan pemilihan Walikota Medan, Sumatera Utara maka dengan adanya praktek “Sistim Nepotisme” maka Ketua DPC.PDI.P Kota Medan Ir. Achyar Nasution harus pula “Gigit Jari” karena setelah mencalonkan diri dari DPC.PDI.P Kota Medan maka dipaksa oleh pengurus DPP. PDI.P (Pusat) untuk mengundurkan diri dari pencalonan karena ada Calon Walikota lain yang diunggulkan oleh DPP. PDI.P yaitu Bobby Nasution,MBA yang merupakan Mantu dari Presiden Jokowi.
Calon Walikota yang diusung DPC. PDI.P Kota Medan Ir.Achyar Nasution yang juga Wakil Walikota Medan tidak mau mundur dari pencalonan Walikota dan mengundurkan diri dari jabatan sebagai Ketua DPC. PDI.P Kota Medan dan juga sebagai Kader PDI.P.
Kemudian Ir. Achyar Nasution mencalonkan diri dari dukungan beberapa Partai lainnya di Kota Medan dan mengalami kekalahan didalam pemilihan Walikota Medan dari saingannya Bobby Nasution,MBA.
Ternyata “Sistim Nepotisme” berhasil diterapkan oleh petinggi PDI.P meskipun “Sistim Nepotisme” telah mencederai proses Kaderisasi dan Berdemokrasi didalam Partai (PDI.P).
Berebut Pengaruh dan Kekuasaan di Partai dan Pemerintahan
Selanjutnya sudah tidak rahasia 2 Petinggi dan Kader PDI.P (Ketua Umum Megawati dan Presiden Jokowi) berebut “Pengaruh” dan “Kekuasaan”.
Ketua Umum PDI.P Megawati berharap berbagai kebijakan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi di Pemerintahan haruslah terlebih dahulu dikonsultasikan dan mendapat restu darinya karena Presiden Jokowi juga menjadi Presiden karena dicalonkan dan restu dari Ketua Umum PDI.P Megawati.
Selanjutnya Presiden Jokowi juga menjadi risih dan kecewa dari sikap Ketua Umum PDI.P Megawati karena merasa tidak bisa leluasa menjalankan Tugas dan Fungsinya sebagai Presiden.
Dan puncak dari pertentangan mencapai klimaksnya dikongres PDI.P di Semarang, Jawa Tengah beberapa waktu yang lalu yaitu didalam Kongres Megawati sebagai Ketua Umum PDI.P melabrak habis-habisan Presiden Jokowi dengan membeberkan kelemahan dan kesalahan-kesalahannya.
Namun Presiden Jokowi juga sangat Tersinggung (Kecewa) dan juga merasa dipermalukan dihadapan “Orang Banyak” dari peserta Kongres dari seleruh Indonesia dan juga dihadiri pengurus DPP. PDI.P serta para Wartawan sehingga Presiden Jokowi balik menyerang secara dengan keras Ketua Umum PDI.P Megawati.
Dan akibat kuatnya Pengaruh dan Tekanan dari Ketua Umum PDI.P Megawati kepada Presiden Jokowi maka sampai ada komentar miring yang menganggap Presiden Jokowi sebagai Presiden “Boneka” dan komentar dimuat di Media Sosial.
Oleh arena itu didalam acara “Debat” dengan para Kandidat Calon Presiden yang akan dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia maka sebaiknya para Ketua Umum (Pimpinan) Partai pengusung calon Presiden Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan juga di undang dalam acara “Debat” sehingga kisah kelam yang dialami seorang Presiden tidak terulang lagi di Indonesia.
Dan juga hal ini agar didalam penyelenggaraan proses Berpolitik, Berpemerintahan dan Bernegara di Indonesia lebih Transparan dan Objektif dimasa yang akan datang.
Kader Muda PDI.P Kecewa dan Bingung
Dengan adanya “Sistim Nepotisme” yang diterapkan maka telah mencederai proses Kaderisasi dan proses Berdemokrasi di Partai PDI.P sehingga para Kader muda PDI.P menjadi bingung dan kecewa serta demikian juga dengan adanya “Perseteruan” antara Ketua Umum PDI.P Megawati dengan Presiden Jokowi yang sama-sama Kader PDI.P maka membuat bingung para Kader PDI.P.
Dan hal ini mencapai puncaknya pada saat tahun Politik menjelang Pemilu Pilpres dan Legislatif tahun ini (2023) yaitu 2 Kader muda PDI.P yang cukup berbobot dan berpengaruh serta cemerlang Effendi Simbolon dan Budiman Sujatmiko mengatakan dengan secara lugas dan spontan akan mendukung Prabowo dalam Pemilu Pilpres tahun depan (2024).
Effendi Simbolon yang berasal dari Sumatera Utara dan pernah menjadi Calon Gubenur Sumatera Utara serta kini Ketua Umum Marga Simbolon sedunia dalam pertemuan diorganisasi kumpulan Marga Simbolon di Jakarta belum lama ini dengan secara tegas mendukung Calon Presiden Prabowo menjadi Presiden pada Pemilu 2024.
Dalam acara pertemuan Effendi Simbolon bersama Istri memberikan “Kain Ulos” kebesaran adat Suku Batak kepada Prabowo yang disebut dalam tradisi Suku Batak dengan acara “Mangulosi”.
Selanjutnya sama halnya dengan Kader muda potensial dari PDI.P berasal dari Jawa Tengah Budiman Sujatmiko dengan secara tegas dan tanpa tedeng aling-aling mengatakan akan mendukung Calon Presiden Prabowo pada Pemilu Pilpres tahun depan (2024).
Demikian juga dikatakan oleh sang Tokoh muda yang cukup energik ini bahwa dirinya sebagai Aktifis Mahasiswa pada tahun 1998 yang turut mengakhiri masa Pemerintahan “Orde Baru” maka telah melupakan Peristiwa 1998 tersebut dan selanjutnya Prabowo dikatakan layak untuk menjadi Presiden pada Pemilu Pilpres 2024.
Selanjutnya didalam kesempatan-kesempatan lainnya maka Budiman Sujatmiko dengan lantang dan berani menyampaikan dukungannya terhadap Prabowo menjadi Presiden yaitu didalam berbagai Orasi dan Pertemuan dengan Warga Masyarakat di Jawa Tengah.
Demikian juga Budiman Sujatmiko juga sudah membentuk kumpulan Relawan Pendukung Calon Presiden Prabowo di Jawa Tengah yang dinamakan Relawan “Prabu” atau relawan “Prabowo-Budiman Sujatmiko”.
Dan kedua Tokokh-Tokoh Muda PDI. PDIP Budiman Sujatniko dan Effendi Simbolon tampaknya berkeyakinan bila prabowo menjadi Presiden maka Indonesia akan lebih cepat Maju dan Sejahtera.
Akibat tindakan dan gencarnya tokoh muda cemerlang PDI.P melakukan gerakan maka membuat Pengurus DPP. PDI.P di Jakarta menjadi berang (marah) sehingga melalui Sekjen DPP. PDI.P Hasto Kristianto di Media Sosial didampingi Kader PDI.P lainnya.
Hasto dengan mimik muka secara tegas dan cemas memperingatkan Budiman Sujatmiko dan mengancam akan diambil tindakan tegas berupa Sanksi dari Partai. Tapi ternyata Budiman Sujatmiko menanggapi santai saja ancaman yang ditujukan kepada dirinya.
Dia dengan mengatakan apabila DPP. PDI.P sampai menjatuhkan Sanksi (Hukuman) kepada dirinya maka hal ini adalah merupakan kekeliruan karena Dia adalah penganut Ideologi “Soekarnois” sedangkan Ketua DPC. PDI.P Kota Medan dan juga Wakil Walikota Medan Ir. Achyar Nasution sudah sejak lama (3 tahun) lalu telah hengkang dari Partai berlambang Banteng (PDI.P).
Demikianlah adakalanya didalam hidup ini karena “Napsu Dunia” tidak terkendali maka akibatnya Ketua DPC. PDI.P Kota Solo (Surakarta) dan Ketua DPC. PDI.P Kota Medan pun harus “Gigit Jari” dan menjadi “Korban”.
Dan kini ada informasi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mencalonkan adik Gibran yaitu Kaesang menjadi calon Walikota Depok (Banten).
Sebenarnya lebih tepat PSI mencalonkan Tokoh muda dari Kota Depok saja yang berdomisili dan berasal dari Kota Depok karena lebih mengetahui secara real seluk beluk kondisi Masyarakat dan Kota Depok daripada Kaesang yang bukan penduduk dan berasal dari Kota Depok.
Dan Soekarno dan Hatta pun bisa menjadi Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia karena setelah mengalami pengalaman (Track Record) yang panjang dan mumpuni meskipun saat itu Soekarna masih dalam usia sangat muda.
Demikian juga akibat diterapkan Virus “Sistim Nepotisme” maka oleh karena itu Kami (Penulis) teringat lagu lama irama Kroncong (Remaja) yang dinyanyikan oleh penyanyi tenar asal Priangan (Bandung) Hetty Koes Endang yang salah satu Bait dari lagunya berbunyi :”Wahai Kaum Remaja Indonesia Isilah Dirimu Dengan Jiwa Pancasila agar Engkau Bahagia didunia dan diakhirat kelak”.
Virus “Sistim Nepotisme” Menjalar ke Daerah.
Dan akibat munculnya “Sistim Nepotisme” diterapkan oleh para Tokoh dan Pemimpin ditingkat Pusat (Jakarta) maka kini virus telah pula menjalar kedaerah-daerah.
Pada proses pencalonan di Eksekutif (Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dan Gubernur/Wakil Gubernur) pada Pemilu 2024 maka akan muncul figur-figur “Calon Tokoh Karbitan” (Sistem Nepotisme) yaitu para Anak atau Istri atau Keluarga Dekat dari para mantan Pejabat-pejabat yang kualitasnya akan lebih rendah dari para Pejabat sebelumnya.
Demikian juga Figur-figur yang dicalonkan menjadi Anggota DPRD Tk-II (Kabupaten/Kota), DPRD Tk-I (Provinsi) dan DPR.RI (Tk Pusat) maka kualitasnya akan lebih rendah daripada sebelumnya (hasil Pemilu 2019) serta hal ini juga akan berimbas pada Calon-calon Pimpinan di DPRD Tk-II (Kabupaten/Kota), DPRD TK-I (Provinsi) dan DPR.RI (Tk. Pusat) hasil Pemilu 2024 yang kualitasnya diperkirakan akan lebih rendah dari hasil Pemilu 2019.
Oleh karena itu kualitas para Calon Pemimpin akan rendah maka diperkirakan mereka akan menempuh cara “Politik Uang” (Mahar Politik) untuk bisa terpilih yaitu dengan cara membeli suara dari para Pemilih sedangkan pada Pemilu Legislatif (DPR.RI) tahun 2019 lalu maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap salah seorang Calon Anggota DPR.RI “Budi Ngarso” yang menyiapkan 1 Truck Container “Amplop” berisikan uang untuk Mahar Politik agar dibagi-bagikan kepada Masyarakat (Pemilih) didaerah pemilihannya dipulau Jawa.
Dan cara tersebut juga diperkirakan akan dipraktekkan oleh para Calon Anggota DPR.RI lainnya pada pemilu Legislatif DPR.RI tahun 2024 tapi tidak mungkin KPK akan menangkap Ribuan Calon Anggota DPR.RI dan juga Penjara “Suka Miskin”, Bandung juga tidak muat menampung semuanya.(Penulis adalah Pemerhati Partai Politik dan Proses Berdemokrasi di Indonesia serta Mantan Anggota DPRD di Aceh Tahun 1982 s/d 1992 tanpa Mahar atau Politik Uang). (***)
0 Komentar