RAJA Louis XIV dari Prancis pernah menyatakan kepada anggota Parlemen Paris pada 13 April 1655, L’etat c’est moi (negara adalah saya). Louis XIV merupakan penguasa absolut yang menganggap dialah penguasa tunggal yang harus dipatuhi.
Pernyataan tersebut menyulut gerakan perlawanan rakyat terhadap sang raja yang absolut dan menimbulkan Revolusi Prancis dengan semboyan liberte, egalite, dan fraternite (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukanlah penguasa absolut seperti Raja Louis XIV. Indonesia juga bukan negara kerajaan, melainkan merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik. Namun, menjelang setahun berakhirnya pemerintahannya, kini ia sedang menikmati kekuasaannya yang berlebih.
Ibarat raja Jawa masa lalu, kekuasaannya bulat dan tidak terbagi-bagi. Tidak ada matahari kembar. Tidak ada yang berani menentang dan mengkritiknya, kecuali kelompok masyarakat akademis, masyarakat kewargaan, para netizen, dan influencer yang dulu ialah para pendukungnya.
Court-politics
Tampaknya Presiden Jokowi kini sedang mengalami psikologi politik, betapa independennya dia dari parlemen, ketua umum partainya, lembaga yudikatif, dan eksekutif. Dia sedang merasa di atas lembaga trias politika yang ada.
Dia sedang mengalami situasi seperti di Eropa pada masa lalu, yakni court-politics. Ciri-ciri dari court-politics ialah, pertama, ucapannya merupakan hukum itu sendiri (sabda pandita ratu). Ia bisa mengatur hukum sesuai dengan keinginannya seperti yang terjadi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.
Kedua, para pejabat tidak berani menentang atau memperingatkannya karena mereka takut di-reshuffle atau digeser. Ketiga, tidak ada pejabat yang berani menggalang kekuatan untuk menyainginya karena takut ada pejabat lain yang melaporkannya kepada sang penguasa.
Keempat, para pejabat bersaing untuk dekat kepadanya agar jabatan mereka aman atau mendapatkan kekuasaan tambahan darinya. Kelima, pengambilan keputusan yang dibuatnya tidak lagi atas dasar dialog atau diskusi dengan orang-orang dekatnya, baik di kabinet maupun pejabat sipil-militer lainnya, tetapi bergantung pada siapa yang ia dengar. Pembisik itu belum tentu pejabat yang dekat dengannya, melainkan orang-orang yang tidak memiliki jabatan resmi.
Masih haus kekuasaan
Bagi Presiden Jokowi, tampaknya, masa jabatan presiden dua periode terasa kurang. Karena itu, orang-orang kepercayaannya berupaya untuk melakukan rekayasa hukum dan politik agar ia bisa tiga periode, atau paling tidak dapat tambahan dua tahun. Ia kehilangan dua tahun masa kekuasaannya karena dunia, termasuk Indonesia, mengalami pandemi covid-19.
Sebagai presiden yang berkuasa hampir 10 tahun, ia seakan lupa bahwa kekuasaannya memang harus dibatasi dua periode. Lalu, bagaimana supaya ia tidak mengalami post power syndrome, maka dilakukanlah rekayasa-rekayasa hukum dan politik agar sang anak dan menantu bisa mendapatkan kekuasaan politik.
Awalnya anak pertamanya, Gibran Rakabuming Raka, diusulkan ke PDIP agar bisa menjadi Wali Kota Solo, tentunya melalui rekayasa politik yang amat kasatmata. Sang menantu, Bobby Nasution, diusulkan ke PDIP juga agar bisa menjadi Wali Kota Medan.
Langkah lanjutannya, menjelang Pemilu 2024, rekayasa menjadikan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapresnya Prabowo Subianto, baik melalui rekayasa hukum lewat MK maupun rekayasa politik melalui partai-partai Koalisi Indonesia Maju di bawah Prabowo.
Mengapa ketua-ketua parpol koalisi Prabowo mengamininya? Kabarnya, mereka ingin mendapatkan efek ekor jas agar partainya mendapatkan suara yang banyak untuk tambahan kursi, atau agar partainya bisa masuk parlemen.
Ada juga kabar lain, para ketua partai itu merasa tersandera akibat adanya kasus-kasus korupsi yang mendera diri dan anggota partai mereka. Maksudnya, jika mereka tidak tegak lurus dengan Jokowi, kasus-kasus hukum akan diungkapkan ke publik atau dilaporkan ke Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau ke Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).
Jika Presiden tahu bahwa ada menteri-menterinya yang melakukan tindak pidana korupsi, mengapa pengungkapan itu tidak dilakukan jauh-jauh hari sebelum tahun politik ini? Ini dapat dianggap bahwa Presiden melalaikan tugasnya untuk mencegah hal itu terjadi, atau membiarkan hal itu terjadi di dalam kabinetnya. Pengungkapan kasus-kasus korupsi sebagian besar dilakukan menjelang pemilu agar pimpinan partai politik takut kepadanya.
Ketua-ketua partai ini seakan kehilangan akal sehat untuk mendukung Gibran, padahal banyak hal aneh pada proses pengajuan itu. Para ketua partai mengorbankan diri dan kader politik mereka yang sudah bertahun-tahun bekerja keras di dalam partai agar suatu saat mereka dapat naik kelas menjadi cawapres. Merit system dihilangkan. Rekrutmen anggota dan kepemimpinan seakan dilenyapkan demi Gibran.
Bayangkan, baru pada 2023 atau setahun menjelang Pemilu 2024, seorang anak presiden mendapatkan privilese yang begitu besar. Hari ini menjadi anggota Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan dua hari kemudian dipilih menjadi ketua umum partai tersebut.
Hanya demi Gibran
Lebih mengagetkan lagi, Partai Golkar yang memiliki tradisi pengaderan yang lama, berliku-liku dari daerah ke pusat, dari parlemen ke eksekutif, hanya demi Gibran, semua sistem tersebut dihancurluluhkan.
Gibran hari ini diterima menjadi anggota organisasi sayap (onderbouw), dua hari kemudian secara resmi diangkat menjadi cawapres untuk Prabowo. Ini pendidikan politik yang buruk bagi generasi milenial dan generasi Z, bahwa jika ingin menduduki jabatan politik dengan mudah, Anda harus jadi anak atau menantu presiden atau elite politik lainnya.
Hanya demi Gibran, berbagai tradisi rekrutmen dan pengaderan politik dihancurkan. Hanya demi menjadikan anak presiden menjadi cawapres, kita harus putar balik 180 derajat ke era sebelum reformasi. Lebih menyedihkan lagi, ini terjadi setelah 25 tahun reformasi dan dilakukan oleh seorang presiden yang dulu menjadi idola para pemilihnya dengan semboyan Jokowi Adalah Kita.
Kini, presiden yang dulu amat merakyat itu ingin membangun dinasti politiknya dengan cara apa pun tanpa memandang apakah itu etis atau tidak, bermoral atau tidak. Koalisi politik Prabowo dan Presiden Jokowi ini adalah koalisi antara Prabowo Subianto yang syahwat kekuasaannya untuk menjadi presiden sudah di ubun-ubun dan Presiden Jokowi yang impiannya untuk membangun dinasti politik sudah tak tertahankan lagi.
Apa yang terjadi saat ini bukan saja tragedi demokrasi kita, melainkan kita harus kembali lagi ke arah otoriterisme seperti pada era Orde Baru. Berapa biaya politik dan ekonomi dari praktik politik yang oleh Olle Tornquist disebut sebagai 'demokrasi kaum penjahat'? (Penulis Adalah Peneliti LIPI 1984-2017 )
0 Komentar