Oleh: Antony Z Abidin*
Karena pemilihan umum presiden (pilpres) secara langsung sudah dilaksanakan 4 kali, pola dan tipologi pasangan sudah menjadi fakta empirik.
Dapat menjadi acuan untuk memperkirakan pasangan mana yang bakal jadi pemenang pada pilpres 14 Februari 2024 mendatang.
Dua faktor kunci kemenangan pada pemilihan presiden 2004 dan 2014 adalah profil tipologi calon presiden dan “fakor JK”. Khusus pilpres 2024, ditambah 1 faktar kunci atau variabel baru, yaitu “cawe2” atau endorsement presiden Joko Widodo.
Namun penentu utamanya adalah tipologi sang calon preidennya sendiri. Untuk memahami variabel tipologi tersebut, dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan sedehana berikut ini.
Mengapa Megawawati Soekarnoputri (MS), duakali nyapres, duakali kalah? Mengapa Prabowo Subianto (PS) juga punya nasib yang sama? Dua kali ikut pemlihan presiden dan sekali berpasangan dengan MS sosebagai calon wakil presiden, juga kalah?
Pilpres 2004, untuk pertama kalinya rakyat Indonesia memilih presidennya secara langsung, 5 Juli 2004, diikuti 5 pasang calon, 122.293.844 (79,76% dari suara terdaftar) rakyat menggunakan hak pilihnya. Mereka memilih secara langsung, bebas dan rahasia di bilik-bikin tertutup pemilihan.
Presiden Megawati (petahana) berhadapan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Menko Polkam, yang dipecat Megawati 12 Maret 2004, 4 bulan sebelum berlangsungnya pilpres.
Megawati berpasangan dengan ketua umum PBNU Hasyim Muzadi. Pada putaran kedua dikalahkan pasangan SBY-Jusuf Kalla, telak: 60,3% berbanding 39,38%.
Mengapa presiden inkamben, anak proklamator dan presiden pertama RI, ketua umum partai papan atas PDIP dikalahkan “anak buahnya”, SBY, anak pama (perwira pertama) TNI?
Penyebabnya setidak-tidaknya ada 2 faktor. Pertama faktor gap tipologi, kedua salah memilih wakil presiden.
Seharusnya, Megawati menerima lamaran JK. Karena lamarannya ditolak, akhirnya JK berpindah ke SBY yang memang berharap untuk berpasangan dengan JK, seperti yang disampaikannya kepada saya di rumahnya medio Mei lalu.
Megawati dan juga Prabowo, yang menjadi pasangannya pada pemilu 2009, berasal dari kalangan atas, tipologi A. Sejak kecil hingga remaja, Mega hidup dan dibesarkan dalam lingkungan istana kepresidenan.
Demikian juga Prabowo, kakek serta ayahnya adalah tokoh nasional, proses sosialisasinya jauh dari rakyat; sejak kecil hingga remaja ia sekolah di berbagai negara di luar negeri. Proses tersebut membentuk watak pribadi (basic character) atau sistem kepribadian yang umumnya berjarak dengan rakyat biasa, mayoritas pemilih.
Sebaliknya, SBY dan Jokowi, sistem kepribadiannya dekat dengan rakyat. Masa kecil SBY sebagai anak dari pama TNI berpangkat peltu (pembantu letnan satu) pada masa pensiunnya, tentulah sangat dekat dengan kehidupan rakyat pada umumnya.
Demikian pula Jokowi, proses sosialiasinya sangat dekat dengan kalangan rakyat biasa, yang umumnya hidup pas-pasan atau bahkan miskin. Blusukan dan gorong=gorong, dua kata yang melekat pada citra Jokowi sebelum mencalonkan dirinya pada pilpres 2014.
Dia tampil sebagai pemenang pada pemilu 2014. Cawapresnya, untuk ronde pertama pilpresnya sama dengan SBY (2004), lagi-lagi Jusuf Kalla.
Berhadapan dengan pasangan Prabowo dan Ketua Umum PAN Hatta Rajasa. Tipologi besan presiden SBY itu, lebih dikenal sebagai pengusaha, strata menengah (tipologi B). Dari berbagai penampilannya, tidak tampak kesan ia dekat dengan rakyat banyak.
Dua faktor kunci, dimiliki Jokowi. Jokowi meraup 85.607.362 suara (55,5%) dan Prabowo 68.650.239 (44,5%).
Di pemilu 2019, Prabowo memilih Sandiaga Uno sebagai cawapresnya, dengan tipologi yang relatif sama dengan Hatta Rajasa. Berhadapan dengan sang petahana presiden Joko Widodo. Pada periode kedua Jokowi dan SBY, sebagai inkamben, faktor JK sudah tidak diperlukan lagi. Keduanya melenggang menjadi pemenang.
Jusuf Kalla tercatat sebagai wakil presiden yang membawa kemenangan SBY maupun Jokowi pada pemilu presiden periode pertamanya. SBY dan Jokowi mungkin tidak akan pernah menjadi Presiden RI jika tidak berpasangan dengan Jusuf Kalla pada pilpres pertama mereka masing-masing. Fakta atau bukti empiriknya adalah pelpres 2004 (SBY-JK) dan pemilu 2014 (Jokowi-JK).
Lantas, bagaimana dengan pasangan Anis Baswedan dan Muhaimin Iskandar? Apakah tipologi mantan aktivis dan alumni UGM ini nyambung dengan rakyat? Anis, sebagai anak pasangan dosen, proses sosialisasinya berada di lingkungan rakyat pada umunya.
Demikian juga Muhaimin, anak kiyai, keponakan Gus Dur, lahir dan besar di lingkungan pesantren Jombang. Tipologi mantan wagub DKI dan ketua umum PKB itu: C mendekati B. Yang mereka perlukan untuk menang adalah “faktor JK” dalam aspek modal atau pendanaan.
Serta Ganjar Pranowo, juga alumni UGM dengan ayah seorang polisi yang hidupnya pas-pasan. Ibunya membuka warung kelontong ketika ayahnya pensiun dan Ganjar sendiri berjualan bensin di pinggir jalan untuk membantu kehidupan ekonomi keluarganya ketika itu. Profil Ganjar sama dengan Jokowi maupun SBY dan Anis, temasuk tipologi C.
Cawapres Ganjar yang secara resmi sudah diajukan Partai Persatuan Pembangunan, adalah Sandiaga Uno, pengusaha dengan tipologi B (menengah). Sewaktu berpasangan dengan Prabowo sebagai cawapres, dia telah membangun komunikasi secara luas dengan berbagai lapisan masyarakat. Dalam perspektif sosiologi politik, kekalahan mereka terutama karena tipologi keduanya (A dan B), tidak begitu nyambung dengan C (rakyat banyak).
Berbeda jika berpasangan dengan Ganjar, pasangan GP-SU (gabungan C dan B), berpeluang untuk menang karena potensi SU dari segi pendanaan. Dari segi pendanaan itu, Sandiaga ada kemiripan dengan JK. Sesuatu yang tampaknya tidak dimiliki pasangan Anis-Muhaimin.
Sedangkan peluang Prabowo, dari aspek tipologi memang menjadi problem utama selama 3 kali mengikuti pilpres.
Jika PS tidak mau kalah untuk keempatkalinya, ia harus diperkuat oleh cawapres yang memiliki “faktor JK.” Pengusaha, teknokratik, politisi berpengalaman, cukup senior dengan bobot tipologi B dan C yang mumpuni. Serta faktor kunci ketiga, yaitu endorsement presiden Jokowi untuk memastikan keberlanjutan program-progran strategis.
Dua partai anggota Koalisi Indonesia Maju sudah mengajukan nama. Golkar mengajukan ketua umumnya Airlangga Hartarto dan PAN Erick Thohir (ET).
Ditilik dari 3 faktor kunci, posisi ET mirip dengan Hatta Rajasa dan Sandiaga Uno (tipologi B). Daya tarik alumni Gledale Community College (S1) dan National Unversity California (MBA) ini terutama karena ia adalah pengusaha dan pengurus sejumlah organisasi olahraga yang mengangkat popularitasnya, antara lain sebagai ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia.
Tidak diketahui pertimbangan mengapa PAN mengusulkan nama ET, karena ia tidak dikenal sebagai anggota ataupun pengurus PAN. Pada awalnya PAN menemui Ketum PDIP Megawati, menyodorkan nama ET untuk cawapres pendamping Ganjar. Berbeda dengan Sandiaga Uno, ET tidak begitu direspon Megawati. PAN mengajukan kembali nama ET setelah PAN bersama Golkar bergabung ke Prabowo di Koalisi Indonesia Maju.
Airlangga Hartato, seorang insinyur lulusan UGM. Sama dengan Anis, Ganjar dan Muhaimin bahkan Joko Widodo, alumni kampus Bulak Sumur yang terkenal dekat dengan rakyat. Ia dikenal sebagai aktivis mahasiswa, pernah menjadi ketua umum Senat Mahasiswa Fakultas Teknik UGM. Memperoleh gelar MBA di Monash University, MMT di University of Melbourne dan AMP Wharton School University of Pennsyilvania (ivy legague, kelompok universitas prestisius di USA).
Sebagai mantan aktivis, pengusaha, politisi senior dan ketua umum Partai Golkar, tipologinya hampir sama dengan Jusuf Kalla yang telah memenangkan SBY dan Jokowi pada pilpres periode pertamanya.
Airlangga dapat menjadi “faktor JK”, jika dipasangkan dengan Prabowo sebagai calon wakil presien. Meskipun, Golkar mengamanahkannya melalui Munas, Rapimnas dan Rakornas partai, memiliki kursi DPR RI terbesar (78) di koalisi, untuk dimajukan sebagai calon wakil presiden RI 2024-2019.
Wajar jika presiden Joko Widodo ingin program2 strategisnya akan menjadi legacy yang berkelanjutan, sebagaimana percakapannya dengan Prabowo di atas kereta api cepat Bandung Jakarta (143 km) Selasa (19/9) minggu lalu.
Setelah jalur Jakarta Bandung, Jokowi tentu menginginkan jalur Bandung Surabaya yang panjangnya sekitar 5 kali dari yang sudah rampung. Memerlukan kemampuan transfer teknologi dan dana yang sangat besar. Demikian juga juga proyek-proyek infrastruktur, jalan tol Sumatera (Lampung Aceh), berbagai program strategis lainnya termasuk pemindahan ibukota ke IKN.
Tampaknya tidak banyak pilihan bagi Presiden RI ke-7 itu untuk kontinuitas kerja-kerja besarnya, kecuali dipercayakan kepada Capres dan cawapres yang tepat. Pilihannya mengarah kepada pasangan Prabowo Airlangga.
Dalam paparan capres di UGM minggu lalu, Anis menjelaskan program kesataraan dan keadilan, Ganjar dengan 6 pilar strategisnya dan Prabowo dengan 17 program prioritasnya.
Yang menarik dalam forum itu, Prabowo menyampaikan dengan mata berbinar “saya ingin melihat Indonesia bebas dari kemiskinan. sebelum saya meninggal”. Target Indonesia emas 2045 PDB Indonesia yang saat ini 1,4 triliun dollar AS menjadi 9,9 triliun dollar AS pada 2045. Indonesia menjadi negara maju, masuk 5 besar perekonomian duina. Semoga.
Rakyat tentunya akan memilih sesuai hati nuraninya pada 14 Februari 2024 nanti. (Penulis adalah wartawan senior, sosiolog, participant observer, Pengurus DPP Golkar 1998-2004).
0 Komentar