Oleh: Jamhuri
Sepertinya apa yang dikemukakan oleh Prof. Muchtar Kusuma Atmaja bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman, tidak lagi dapat dibantah akan kebenarannya. Filosofi yang merupakan potret buram gambaran kebuasan sebuah kekuasan.
Akan tetapi pendapat yang bersangkutan tidak akan berguna apa-apa ketika tidak diikuti dengan kesadaran hukum yang masih mempergunakan dalih atau alasan klise yang bertolak belakang dengan fiksi hukum, dengan sebaris kalimat sederhana tidak tahu keberadaan sebuah peraturan.
Alasan klise dari kemahiran bersilat lidah dengan tujuan utama untuk cuci tangan buang badan atau sekaligus memberikan perlindungan terhadap pewaris dosa-dosa birahi kekuasaan era massa lalu. Kemahiran mengurai kata-kata dari pemikiran yang mengandung cacat logika, cacat nalar dan cacat kehendak serta sesat pikiran.
Sekumpulan oknum pemilik lidah yang dipergunakan untuk memperalat hukum untuk sebuah kekuasaan bahkan terkesan birahi kekuasaan yang tidak lagi memiliki rasa malu telah memperkosa hukum demi untuk pengabdian terhadap sebuah kepentingan kekuasaan, bahkan cenderung menganut dan membuktikan kebenaran filosofi Plautus yang mengajarkan Manusia adalah Serigala bagi Manusia lainnya (Homo Homini Lupus).
Kebiadaban pemikiran korban-korban birahi kekuasaan yang seakan-akan meyakini bahwa masyarakat Kelurahan Aur Kenali Kecamatan Telanaipura Kota Jambi memiliki pandangan dan keyakinan bahwa hidup hanyalah sebuah jalan menuju kematian (zein zum tode), cukup diukur dan dinilai rendah dengan sekumpulan uang recehan.
Secara yuridis berdasarkan azaz dan norma atau kaidah hukum pembuktian dapat dikatakan bahwa upaya kotor oknum management PT. Sinar Anugerah Sukses (SAS) melakukan gerilya terhadap oknum Ketua Rukun Tetangga (RT) atau masyarakat setempat adalah merupakan alat bukti yang diberikan secara jujur dan dapat dipergunakan untuk melakukan suatu pembuktian terhadap baik sebagian maupun secara keseluruhan dugaan yang didugakan.
Menyangkut upaya melegalisir perbuatan melawan hukum tersebut didapat informasi dari sumber yang layak dipercaya yang menyebutkan adanya perbuatan yang menggusur azaz Suara Rakyat adalah Suara Tuhan (Vox populi vox dei) berganti menjadi Vox populi Vox Argentum (Suara Rakyat adalah Suara Recehan).
Recehan sebagai pembayar upah oknum masyarakat yang rela menandatangani berita acara pemberian persetujuan setelah adanya tindakan operasional tanpa izin dan melanggar ketentuan peraturan perudang-unangan sebagaimana pada Undang-Undang Nomor 17 tahun 2009 tentang Sumber Daya Air.
Suara Masyarakat yang dibungkus dan dikemas dalam tanda tangan pada sebuah berita acara persetujuan kiranya benar-benar telah diyakini cukup dinilai dengan nasi sepiring dan sedikit uang pengganti bensin dengan sebutan uang transportasi.
Dilihat dari sudut pandang hukum Perizinan, Hukum Lingkungan Hidup, Hukum Administrasi Negara dan pespektif Undang-Undang Sumber Daya Air, perspektif Hukum Pidana terutama ketentuan pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan filosofi Hak Azazi Manusia maka baik sebagian maupun secara keseluruhan perbuatan menyangkut perizinan dan operasional serta gerakan bawah tanah oknum Management PT. SAS tersebut baik secara eksplisit maupun implisit dapat dikatakan merupakan sebuah alat bukti berupa sebuah pengakuan.
Pengakuan bahwa telah terjadi pemerkosaan terhadap hukum oleh sekelompok oknum pejabat negara pengidap cacat nalar, cacat logika dan cacat kehendak serta sesat pikiran. Barisan para oknum pelaku ritual haram syaithanik dalam menikmati nikmatnya penghambaan diri terhadap birahi kekuasaan.
Birahi yang mampu mengendalikan ketiga jenis cacat rohani dan pemikian negatif tersebut disinyalir telah dengan sengaja mengabaikan fiksi hukum yang dinilai dapat dibuktikan dengan mempertanyakan bagaimana Izin Lingkungan Hidup dengan peruntukan bagi kepentingan PT. SAS pada tahun 2015 yang lalu dapat diberikan dengan tanpa memperhatikan aspek Tofografi, Demografi dan Geografis Daerah serta aspek Sosiologis masyarakat di lokasi tempat Izin Lingkungan Hidup tersebut diberikan untuk dipergunakan pada tempatnya masing-masing.
Bagaimana mekanisme cara penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan siapa yang melakukan dan apa kompetensinya terhadap penyusunan kesaktian dokumen instrument hukum tersebut adalah pertanyaan berikutnya yang menantikan kehadiran hukum guna memberikan jawabannya kepada masyarakat.
Apakah benar Cacat Logika, Cacat Nalar dan Cacat Kehendak serta Sesat Pikiran telah mampu menjadikan ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah dinilai oleh para oknum terduga hanya sebagai sebuah lantunan simponi nyanyian nyamuk di tepi telinga pengganggu mimpi indah mentaati hukum dengan kesadaran dan kepastian hukum agar dapat diwujudkan tujuan dan fungsi hukum sebagaimana mestinya?
Pertanyaan berikutnya adalah sejauhmana pemberian izin lingkungan hidup tersebut telah diberikan dengan mematuhi dan/atau mentaati ketentuan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), serta sejauhmana dalam pelaksanaan pembangunan Stoctpile dimaksud telah sesuai dan mematuhi ketentuan sebagaimana Pasal 109 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juncto Pasal 25 huruf b juncto Pasal 68 huruf a Undang-Undang Nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air ?
Tidak hanya sebatas ketentuan sebagaimana diatas akan tetapi diikuti dengan pertanyaan menyangkut Analisis Dampak Lalulintas dengan pertanyaan bagaimana dengan kesadaran hukum investor dan para oknum pembuat kebijakan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah diatur dengan ketentuan pada Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menegaskan bahwa “Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan wajib dilakukan analisis dampak lalu lintas.”
Sejauh mana keterlibatan atau peranan dari pihak Kepolisian dalam hal ini yaitu Direktorat Lalu Lintas Polda Jambi dan serta Dinas Perhubungan Provinsi Jambi terhadap mekanisme penyusunan serta pihak berkompeten dimaksud sejauh mana mengetahui keberadaan Dokumen Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALALIN) tersebut?
Serta pertanyaan berikutnya yang tidak kalah pentingnya menyangkut tentang hak dan kewenangan mutlak ataupun kompetensi dalam pemberian izin TUKS sejauhmana kwalitas pemahaman atau pengertian terhadap Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dan kwalitas kepatuhan dan menghormati ketentuan Pasal 1 angka (4) dan (5) juncto Pasal 8 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 51 tahun 2011 tentang Terminal Khusus dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 73 tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 51 tahun 2011 tentang Terminal Khusus dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS).
Bahkan baik sebagian maupun secara keseluruhan fakta hukum menyangkut perbuatan hukum sebagaima izin lingkungan dan izin Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) bagi dan serta operasional PT. SAS terkesan seakan-akan ketentuan Pasal 109 jo Pasal 111 jo Pasal 68 huruf a Undang-Undang Nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air jo Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan jo Pasal 1 angka (4) dan (5) jo Pasal 8 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 51 tahun 2011 tentang Terminal Khusus dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) telah dianggap sebatas setumpuk kertas bermuatan catatan usang pelengkap keberadaan kedaulatan sebuah negara atau dianggap tidak berharga sama sekali atau seakan-akan hukum beserta dengan segala konsekwensinya telah mampu dibeli dan digunakan sebagai alat pemuas birahi kekuasaan. Ataukah perizinan beserta dengan segala instrumentnya tersebut benar-benar bernuansakan budaya Koruptif?
Sejumlah fakta hukum yang ditemukan menyangkut tentang perizinan dan berhubungan erat dengan aktivitas PT. SAS, dan fiksi hukum, serta Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) beserta azaz dan norma atau kaidah hukum baik Hukum Perizinan, Hukum Lingkungan Hidup, Hukum Pertanahan dan Hukum Administrasi Negara (HAN) menjadi dasar pemikiran yang melahirkan dugaan bahwa hukum telah diperkosa oleh birahi kekuasaan yang tumbuh subur di hati nurani dan sanubari serta memenuhi kepala-kepala oknum pengidap cacat logika, cacat nalar, dan cacat kehendak serta sesat pikiran.
Suatu pemikiran yang merindukan hukum dengan segala instrumentnya memberikan jawabannya secara transparan.
Baik perbuatan pemberian Izin Lingkungan, Izin TUKS maupun upaya gerilya pihak investor melakukan pendekatan terhadap masyarakat dengan mengadakan pertemuan di salah satu pasilitas umum tersebut merupakan suatu kejujuran yang merindukan proses penegakan hukum atas perbuatan melawan hukum dari beberapa aspek hukum, tidak terkecuali terhadap aspek-aspek Hak Azazi Manusia (HAM) yang akan berimplikasi terhadap azaz dan norma atau kaidah hukum Internasional. Dengan salah satu dari instrumentnya yaitu berupa Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environment Programme,-UNEP).
Secara konstitusional UUD 1945 menetapkan hak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat merupakan hak yang paling mendasar (fundamental) dilindungi oleh negara melalui penegakan hukum dan persoalan HAM itu sendiri merupakan salah satu dari indikator Deklarasi Umum Hak Azazi Manusia (DUHAM) atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dunia dengan sebutan The Universal Declaration of Human Rights.
Baik sebagian maupun keseluruhan fakta hukum yang ditemukan menyangkut legalitas dan aktivitas atau operasional pihak PT. SAS di Kelurahan Aur Kenali Kecamatan Telanaipura Kota Jambi dimaksud menunjukkan adanya perbuatan hukum yang merindukan kedatangan tindakan hukum dari berbagai aspek dan filosofi hukum, agar tercapai atau terwujud tujuan negara sebagaimana amanat konstitusional.
Sebuah amanat yang sesuai dengan tujuan dan fungsi hukum agar terwujud kemanfaatan hukum. Kemanfaatan Hukum yang memiliki ruh kemanfaatan dan kepastian hukum. Tanpa keberadadan kedua ruh hukum tersebut maka kedamaian, kesejahteraan dan keadilan hanya menjadi mimpi buruk yang panjang bagi masyarakat, dan bagi keberlangsungan hidup umat manusia untuk dapat menikmati kedamaian dan keadilan serta kesejahteraan.
Filosofi Hukum Lingkungan Hidup tidak hanya sebatas membicarakan tentang flora dan fauna dengan habitat dan ekosistemnya saja, akan tetapi yang terutama adalah membahas tentang bagaimana menjaga keberlangsungan hidup dan pemenuhan hajat hidup umat manusia di seluruh muka bumi tanpa terkecuali.(JP-Penulis Adalah Direktur Eksekutif LSM Sembilan)
0 Komentar