Oleh: Jamhuri
Kegiatan pertambangan Batubara di Provinsi Jambi semakin memperlebar kembangan sayap polemiknya dengan mengundang keresahan warga masyarakat pengguna manfaat jembatan Aur Duri I terutama masyarakat yang mendiami lokasi di seputaran bangunan tua milik negara tersebut.
Kondisi physik pada beberapa bagian tubuhnya terutama pada sambungan lantai terlihat telah ditumbuhi oleh miniatur-miniatur selokan berlapiskan hitamnya keindahan warna aspal yang mampu sedikit menghilangkan rasa cemas para penikmat sarana atau fasilitas umum tersebut.
Padahal sejak dari usia dini jembatan tersebut telah menyediakan diri sebagai salah satu urat nadi bagi Provinsi Jambi dan menghambahkan diri pada kelangsungan birokrasi pemerintahan pada Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, serta sejumlah angkutan umum lainnya seperti bis dan travel serta angkutan ekspedisi dari Pekan Baru, Medan dan daerah-daerah lainnya.
Rupanya alam pada beberapa hari yang lalu dengan kekuatan tersembunyinya menggunakan tangan-tangan 3 (Tiga) orang awak armada angkutan batu bara memberikan perhatian lain agar bangunan penuh jasa tersebut kembali mendapat belaian kasih sayang dari pihak berkompeten seperti Balai Penyelenggara Jalan Nasional (BPJN) khususnya yang berada di Provinsi Jambi.
Secara yuridis normatif BPJN mempunyai hak dan kewenangan serta tanggungjawab hukum untuk melakukan pengelolaan terhadap barang milik negara akan tetapi bukan berarti perbuatan kejadian atas jembatan tua tersebut menjadi tanggungjawab barisan pejabat dan penyelenggara negara pada institusi pemerintahan tersebut. Walau bukan merupakan suatu tanggungjawab secara langsung terhadap kejadian tersebut akan tetapi setidak-tidaknya ada potensi kelalaian mereka pada tahapan proses perizinan.
Perizinan yang disinyalir telah membuat defenisi yuridis kata “Pelayaran” sebagaimana amanat Pasal 1 angka (1) Undang- Undang Pelayaran Nomor 17 tahun 2008 yang menetapkan bahwa Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.
Serta disinyalir telah menyebabkan terkangkangi amanat Pasal 2 Undang-Undang Pelayaran dimaksud yang mengatur tentang azaz pelaksanaan pelayaran diantaranya mengatur bahwa pelayaran diselenggarakan atas azaz manfaat, azaz kepentingan umum, tegaknya hukum, lingkungan hidup, dan azaz kedaulatan negara.
Bak teori amputasi, alam seakan-akan menginginkan adanya tindakan penegakan hukum dari berbagai perspektif hukum dan perspektif peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyibak dan menjawab teka-teki dosa kepentingan, atas upaya dan usaha pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang menggunakan sarana ataupun fasilitas kepentingan umum milik negara.
Teka-teki yang menginginkan jawaban khusus (specialist) menyangkut tentang hal-hal yang baik secara langsung maupun secara tidak langsung berhubungan dengan lingkungan jembatan tersebut, yang jawabannya hanya dapat ditemukan dengan mempergunakan perspektif atau sudut pandang sebagaimana diatas.
Sepertinya alam menghendaki agar adanya proses penegakan hukum guna menyibak misteri sejauh mana keabsahan dan/atau kebenaran perizinan angkutan batubara melalui jalur sungai dengan diantaranya yaitu mengungkap teka-teki tentang izin dan rute trayek angkutan sungai Batanghari, izin sandar.
Serta adanya suatu keinginan alam untuk menghilangkan interprestasi keliru dalam melakukan penafsiran terhadap defenisi tentang “Pelabuhan, Stoctpile, dan Jetty serta defenisi daripada elemen-elemen lainnya menyangkut tentang Pelayaran dan Sungai”, antara lain menyangkut tentang trayek dan rambu- rambu Sungai.
Kamus Badan Pengembangan Inprastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian Pekerjaan Umum mendefenisikan bahwa Jetty adalah: “Bangunan tegak lurus pantai yang menjorok ke laut dimana kapal dapat merapat di kedua sisinya”.
Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian secara harfiah Jetty adalah Dermaga yang bermakna sebagai “tembok rendah yang memanjang di tepi pantai menjorok ke laut di kawasan pelabuhan (untuk pangkalan dan bongkar muat barang)”.
Berdasarkan makna Gramatikal dan morfologi dari kedua kamus tersebut dan berdasarkan pemahaman terhadap tofografi daerah Provinsi Jambi dapat disimpulkan bahwa Jetty tidak berlaku untuk kawasan yang tidak memiliki laut sebagaimana alur sungai Batanghari yang dijadikan sarana angkutan batubara di Provinsi Jambi. Apalagi kata-kata tersebut (Jetty) tidak sama sekali tercantum dalam Undang-Undang Pelayaran dimaksud.
Lebih jauh sepertinya alam tidak menghendaki adanya interprestasi dengan menggunakan pemikiran yang bersifat ambigu atau agar tidak terjadi multy tafsir dalam menterjemahkan ketentuan Pasal 1 angka (6) dan angka (16) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Dengan azaz dan norma atau kaidah hukum pembuktian, serta dengan tidak menggunakan bahasa ambigu agar tidak terjadi interprestasi dalam melakukan penafsiran terhadap amanat konstitusional pada undang-undang yang bersifat spesialitst tersebut.
Hukum dengan azaz Causalitasnya mengisyaratkan agar pihak Ditpolairud Polda Jambi tidak dituding takluk dan berada pada posisi yang sama dengan para awak kapal yang dimaksud yaitu sama-sama sebagai korban kebijakan atau sebagai pembenaran quotes “Hukum tajam ke bawa dan tumpul keatas”.
Dengan azaz sebagaimana diatas (Causalitas) pula dapat diungkap kiranya para awak kapal tersebut bukanlah pelaku utama dari pengrusakan barang milik negara tersebut akan tetapi lebih tepat merupakan korban dari kebijakan menyangkut kebutuhan hidup.
Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan jika disarankan dan diminta agar pihak Ditpolairud Polda Jambi memeriksa untuk meminta sejauh mana pertanggungjawaban Dinas Perhubungan Provinsi Jambi atau pihak yang memberikan perizinan menyangkut kepatuhan hukum terhadap Peraturan Direktur Jendral Perhubungan Darat Nomor KP 4755 /AP005/DRJD/2020 tentang Pedoman Tekhnis Rambu Sungai dan Danau.
Secara yuridis normatif Izin adalah tindakan atau perbuatan menghalalkan sesuatu yang haram atau memperkenankan sesuatu yang terlarang, yang dapat diartikan dengan izin sesuatu perbuatan masih tergolong terlarang apalagi jikda tanpa izin. Berpijak dari sini kirannya pihak Aparat Penegak Hukum juga memiliki kewajiban untuk melakukan pemeriksaan terhadap pihak-pihak berkompeten memberikan izin.
Merujuk pada azaz dan norma atau kaidah hukum ketenagakerajaan, dapat dilihat sepertinya pada peristiwa tersebut telah terjadi hubungan timbal balik dengan runutan hubungan antara lain yaitu adanya pekerjaan disebabkan karena adanya pemberi kerja, dan adanya pemberi kerja disebabkan karena adanya izin yang diberikan oleh sipemberi izin.
Merunut pada prinsif persamaan ataupun persetaraan hak dihadapan hukum serta demi untuk terwujudnya pelaksanaan dan pengamalan serta penghayatan Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), maka pihak Ditpolairud harus melakukan proses hukum terhadap setiap orang yang dianggap memiliki hubungan jabatan dengan penyebab utama terjadinya peristiwa tersebut.
Merujuk pada amanat konstitusional dan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan menyangkut tentang Pelayaran, maka Dinas Perhubungan beserta dengan pihak-pihak yang berkompeten pada sektor perizinan khususnya angkutan sungai wajib harus bertanggungjawab atas segala akibat hukum yang terjadi atas aset negara tersebut.
Teguran atau peringatan alam juga mengingatkan Gubernur Jambi untuk meninjau kembali sejumlah jabatan yang diberikan kepada pejabat daerah pada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sebagai kepanjangan tangan hak dan kewenangan beliau dalam hal menyangkut tentang perhubungan dan perizinan. (Penulis Adalah -Direktur Eksekutif LSM Sembilan)
0 Komentar