Oleh: Jamhuri
Merujuk pada fiksi hukum dimana dikatakan bahwa setiap orang dianggap tahu hukum (presumptio iures de iure), maka kiranya amat sangat tidak masuk akal jika ada informasi yang menyebutkan adanya intervensi oknum wakil rakyat terhadap eksekutif pada Pemerintahan Kabupaten Muarojambi.
Secara yuridis normative sulit untuk dapat atau bisa diterima oleh akal sehat jika ada sosok wakil rakyat sebagai penyelenggara negara dan/atau sebagai figur yang dipercaya oleh rakyat menjadi pemegang hak controlling, budgetting dan hak legislasi jika berpikir dengan pikiran yang mengalami cacat logika dan cacat nalar serta sesat pikiran.
Akal sehat yang telah diperkosa dan dinodai oleh kekuata syahwat multy tafsir terhadap amanat Pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang pada intinya secara spesifik mengatur pasal tersebut mengatur tentang dana pokok-pokor pikiaran (Pokir).
Lebih lanjut Pokir DPRD diatur dalam Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 Pasal 178 yaitu, penelaahan Pokir DPRD merupakan kajian permasalahan pembangunan daerah yang diperoleh dari DPRD berdasarkan risalah rapat dengar pendapat hasil penyerapan aspirasi melalui reses di masing-masing Dapil anggota DPRD.
Mengenai penginputan dana Pokir DPRD harus disampaikan paling lambat seminggu sebelum dilaksanakan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), sebagaimana ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 70 tahun 2019 Sistem Informasi Pemerintahan Daerah.
Tidak satu amanatpun pada ketentuan-ketentuan sebagaimana diatas yang dapat dijadikan dalil oleh oknum anggota dewan untuk melakukan intervensi dan/atau intimidasi terhadap eksekutif dalam hal Pokir, apalagi menggunakan dana pokir untuk membayar gaji tenaga honor titipan oknum anggota dewan perwakilan rakyat dimaksud pada institusi ataupun instansi Pemerintah, yang berujung pada macetnya gaji sejumlah tenaga honor titipan yang dimaksud.
Sehubungan dengan issue tersebut dengan mengacu pada azaz dan norma serta kaidah hukum pembuktian dan/atau merujuk pada amanat konstitusional Pasal 184 ayat (1) juncto Pasal 188 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan salah satu point tentang alat bukti yang syah yaitu adanya petunjuk tentang adanya sesuatu perbuatan melawan hukum atau setidak-tidaknya terlarang menurut hukum dalam ranah hukum Pidana.
Tentunya sinyalement persoalan yang terungkap pada aksi unjuk rasa masyakarakat di Kantor Bupati Muaro Jambi tempo hari merupakan yang menyebutkan adanya sejumlah titipan tenaga honorarium oknum wakil rakyat pada instansi Pemerintah Kabupaten Muarojambi yang gajinya dibayar dengan dana Pokir adalah merupakan PR bagi Aparat Penegak Hukum (APH) baik itu yang berasal dari Korp Bayangkara maupun dari Korps Adhyaksa sebagai Pengacara Negara.
Beban untuk mewujudkan tujuan dan kemanfaatan hukum serta mengembalikan kehormatan DPRD Kabupaten Muaro Jambi pada posisi yang sebenarnya sebagai wakil rakyat. Jika hal sebagaimana issue setelah aksi massa tersebut terbukti secara syah dan meyakinkan dihadapan hukum artinya masyarakat telah salah menentukan pilihan dengan memilih dengan cara yang salah.
Kesalahan dalam menilai yang dimungkinkan kerena adanya penampilan berkamuplase sosok oknum yang ingin mempergunakan fasilitas dan keuangan negara yang dilakukan dengan mengedepankan kepentingan individual dan/atau golongan dengan mengatasnamakan untuk dan demi kepentingan masyarakat banyak.
Fakta tersebut jika benar-benar terbukti secara syah dan meyakinkan dalam suatu tindakan ataupun proses hukum menginsyaratkan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Pemerintah Kabupaten Muarojambi sebagai Pejabat Daerah/Negara belum merdeka untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana yang diatur Azaz-Azaz Umum Pemeritahan yang Baik (AUPB), bahkan mungkin saja lebih cenderung melakukan tindakan pembiaran dan/atau telah dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 421 KUHP.
Serta merupakan suatu sinyalement yang menunjukan bahwa hukum berserta dengan tangan-tangan instrument kelembagaan penegakan belum mampu mendeteksi jika selama ini Gedung Wakil Rakyat tersebut diisi oleh raut wajah kamuplase, yang seolah-olah wakil rakyat akan tetapi sesungguhnya tidak lebih dari pengkhianat rakyat.
Di negara yang berdasarkan atas hukum (rechts staat) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machts staat), dimana kata “hukum” di jadikan sebagai lawan kata “kekuasaan” maka dengan begitu diharapkan hukum berperan dengan fungsinya sebagai alat sosial kontrol (Law as a tool of social engineering), untuk membumi hanguskan pemikiran yang dikendalikan oleh birahi syahwat penyalahgunaan wewenang dan jabatan dengan birahi syahwat multy tafsir terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku digunakan sebagai dalil ataupun dalih pembenaran dari sebuah kebijakan kolonialisme.
Serta sebagai agen pengendali sosial (Law as a Social Controlling Agent in Society), hukum dengan institusi penegakan hukum baik jajaran Kepolisisan Resort Muarojambi maupun Kejaksaan Negeri setempat harus membuktikan sebagaimana pandangan Aristoteles, “suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum”.(Penulis Adalah – Direktur Eksekutif LSM Sembilan)
0 Komentar