Oleh: Jamhuri
Sudah merupakan hal yang aneh dan tabu lagi bagi masyarakat Provinsi dan Khususnya Kota Jambi membicarakan Sungai Batanghari, yang sedang diuji kesaktiannya dengan berbagai masalah di Kota Jambi mencuat persoalan pengelolaan air Tuhan melahirkan sejumlah koruptor.
Sementara di lingkungan Pemerintahan Provinsi Jambi ukuran kesaktiannya daya manfaatnya sedang diuji dengan adanya ketidak mampuan Pemerintah Provinsi Jambi untuk berlaku jujur menyangkut persoalan jalan khusus batu bara.
Sebenarnya baik persoalan di lingkup Pemerintah Kota Jambi maupun di lingkungan Pemerintahan Provinsi Jambi hanyalah sebuah isyarat alami, hakikatnya pada kedua persoalan Sungai Batanghari tersebut menunjukan adanya pergeseran arti dan maksud serta tujuan hukum.
Di PDAM Tirta Mayang Kota Jambi kebocoran dan kehilangan air disinyalir sebagai bagian dari nyanyian usang menanti sentuhan hukum dengan segala macam azaz dan norma ataupun kaidah hukum, sementara di lingkungan Pemerintahan Provinsi Jambi menyangkut persoalan angkutan batubara melalui jalur sungai.
Untuk persoalan Kebocoran atau Kehilangan Air PDAM Tirta Mayang Kota Jambi erat sekali hubungannya dengan penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang mengharuskan Satgas Korsupgah KPK Wilayah II KPK RI pada tanggal 12 Maret 2019 yang lalu melaksanakan rapat Monitoring dan Evaluasi dalam rangka optimalisasi penerimaan daerah Triwulan I 2019.
Sebagai tindak lanjut dari rapat Monev tersebut dan tinjauan langsung lapangan menyampaikan hasil perhitungan sementara penggunaan Air Permukaan pihak Badan Keuangan Daerah Provinsi Jambi pada tanggal 29 Maret 2019 melayangkan surat yang ditujukan kepada Pimpinan PDAM Tirta Mayang dengan Surat Nomor: S-88/BAKEUDA/KUPTD-1.3/III/2019.
Salah satu fakta hukum yang dilampirkan pada surat berkops Dinas Instansi Pemerintah tersebut yaitu data penggunaan air pada Instalasi Pengolahan Air Minum (IPA) Broni 2 pada tanggal 10 Maret 2019 berdasarkan IPA Broni Daily Instrument Report.
Sampai saat ini disinyalir tidak ada yang tahu pasti apa hasil dari surat Pemerintah tersebut, apakah melahirkan suatu keadaan yang berhubungan erat dengan catatan sejarah kelam penyelenggaraan PDAM dimaksud yang melahirkan 2 rezim direksi penganut paham budaya Koruptive.
Selain dari persoalan sebagaimana diatas baru-baru ini kembali ditemukan sejumlah fakta hukum menyangkut keberadaan Satuan Tugas Kehilangan Air oleh unsur Pimpinan Perusahaan Daerah tersebut dinamakan dinamakan Task Forse Non Revenue Water (Task Force NRW), yang memerlukan perhatian serius pihak Aparat Penegak Hukum.
Baik persoalan Koruptor pada PDAM Tirta Mayang Kota Jambi, maupun pada sejumlah tragedi angkutan batubara melalui jalur sungai, tidak terlahir disebabkan karena terjadinya erosi dari aliran sungai Batanghari akan tetapi lebih disebabkan karena terjadinya erosi terhadap nilai-nilai luhur pengabdian yang tergerus oleh karena kepentingan stratifikasi sosial.
Erosi yang menyebabkan terkontaminasinya pikiran oleh cacat logika dan cacat nalar serta sesat pikiran. Kecacatan dan kesesatan yang mengikis nilai-nilai luhur pengabdian kemudian berubah menjadi Pemuas Kepentingan.
Pada hakikatnya apapun yang terjadi menyangkut Sungai Batanghari bukan lah peristiwa pisik akan tetapi lebih berwujud sebagai bencana moral dan etika pengabdian, Baik PDAM Tirta Mayang maupun masalah Jembatan Aur Duri I dan Jembatan Muara Tembesi serta Masalah Kerambah Jaring Apung masyarakat petani yang ditabrak oleh armada angkutan batubara, akan tetapi tertabraknya azaz dan norma serta kaidah hukum yang tergilas oleh kepentingan kekuasaan.
Suatu petunjuk alam melalui pertunjukan panggung bencana memberi isyarat bahwa ada yang salah dalam pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam di negeri ini, atau dengan kata lain alam memberi tahu hukum bahwa telah terjadi sesuatu yang bertentangan dengan azaz dan norma serta kaidah hukum yang disertai dengan adanya pemikiran yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.(Penulis Adalah – Direktur Eksekutif LSM Sembilan)
0 Komentar