Setelah membaca dan mempelajari serta memperhatikan pemberitaan media on line mengenai sesuatu yang berkaitan dengan retrebusi persampahan sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah Kota Jambi pada Tahun 2020-2023 yang dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH), dan Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Mayang Kota Jambi menjadi temuan sebagaimana yang tertuang pada Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP-BPK) 2024 yang menilai hal tersebut terjadi karena adanya kelalaian oleh pejabat berkompeten pada Dua lembaga yang dimaksud dalam melaksanakan perubahan tarif baru walau peraturan daerah tersebut sudah diundangkan sejak 2020.
Teramat sangat mustahil atau tidak dapat diterima akal sehat jika unsur pimpinan pada kedua lembaga tersebut berdalih menggunakan kisah Covid-19 sebagai dalil dalam upaya melakukan tindakan pembenaran, karena untuk berdalih dengan ketidaktahuan tentang Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 6 tahun 2020 tentang Retrebusi Jasa Umum sudah tidak mungkin lagi dilakukan.
Mengingat azaz fiksi hukum adalah asas yang menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure). Semua orang dianggap tahu hukum, tak terkecuali petani yang tak lulus sekolah dasar, atau warga yang tinggal di pedalaman, apalagi pejabat pada suatu pemerintahan (Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi) ataupun jajaran direksi pada Badan Usaha Milik Daerah seperti PDAM Tirta Mayang Kota Jambi.
Dalam bahasa Latin dikenal pula adagium ignorantia jurist non excusat, ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan.Seseorang tidak bisa mengelak dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau tidak mengetahui adanya hukum dan peraturan perundang-undangan tertentu.
Sepertinya Kepala Dinas Lingkungan Hidup lupa bahwa surat yang dilayangkan kepada PDAM Tirta Mayang Kota Jambi setelah 3 (Tiga) tahun pasca diterbitkan dan diundangkannya Peraturan Daerah yang dimaksud adalah sesuatu barang atau benda yang memenuhi unsur ataupun dapat dipergunakan untuk melakukan pembuktian sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP.
Fakta administrasi dimaksud menunjukan bahwa dari ketidakpatuhan terhadap peraturan daerah yang dimaksud dan dengan rata-rata potensi kehilangan pendapatan asli daerah pertahun sebesar Rp. 1,9 Miliar maka selama 3 (Tiga) tahun telah terdapat kehilangan PAD Kota Jambi ± sebesar Rp. 5,7 Miliar.
Prilaku para pelaku pada keterangan LHP BPK yang dimaksud identik dengan ketidak patuhan terhadap hukum ataupun terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau patut dinilai suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja sebagai akibat dari keberadaan pikiran yang terkontaminasi oleh budaya koruptif.
Persoalan diatas jika dipandang dengan mengutip ungkapan Denny Indrayana, yang menyatakan pendapatnya azaz fiksi hukum bisa digunakan untuk memberantas korupsi karena kebutuhan (corruption by need). Sebaliknya, asas itu tidak akan efektif lagi diterapkan untuk memberantas prilaku korupsi karena ketamakan (corruption by greed).
Pada prilaku korupsi golongan kedua ini (karena ketamakan) pelaku umumnya sudah menyadari hukum. Pelaku tahu betul dan menyadari yang dilakukannya adalah perbuatan melanggar hukum, akan tetapi justru karena pengetahuan dan pemahamannya tentang hukum dijadikan alat untuk memuluskan aksi korupsi.
Golongan ini lebih mendekati prinsif Manusia adalah Binatang Buas bagi Manusia lainnya atau homo homini lupus (Manusia adalah Srigala bagi Manusia lainnya).
Dimana patut diduga adanya kesengajaan melakukan perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara bersama-sama Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Direktur Utama PDAM Tirta Mayang dan dengan merujuk ataupun memperhatikan ketentuan Pasal 29 ayat (4) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah maka kejadian sebagaimana yang didugakan diatas patut diduga kuat untuk diyakini melibatkan Sekretaris Daerah Kota Jambi era tahun 2020-2023 yang dimaksud.
Sederhananya fakta administrasi sebagaimana pada LHP BPK dimaksud merupakan petunjuk awal ataupun bukti awal tentang adanya perbuatan melawan hukum dan/atau sesuatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan diketahui atau disadari bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku sebagaimana yang telah diatur dengan ketentuan huruf a angka (1) Lampiran Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 6 tahun 2020 tentang Retrebusi Jasa Umum (jo) Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Negara.
Kejadian selama 3 (Tiga) tahun berturut-turut merupakan hal yang tidak dapat diterima akal sehat disebabkan karena sesuatu bencana alam (Covid-19) dan keinginan ataupun i’tikad atau niat baik dari pejabat negara dalam melindungi kepentingan hajat hidup orang banyak. Apalagi kebijakan yang dibuat oleh para oknum terduga sebagaimana diatas tanpa adanya sesuatu dasar ataupun argumentasi sebagai alasan pembenaran dari sebuah tindakan ataupun perbuatan.
BPK tidak memberikan penjelasan tentang adanya sesuatu kebijakan yang termasuk pada kategori Diskresi, apalagi Peraturan Daerah yang dimaskud adalah Produk Pemerintah Kota Jambi, dengan Dinas Lingkungan Hidup sebagai pengguna (User) yang mengusulkan draft Perda tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk disyahkan dan diundangkan.
Bertolak dari Peraturan Daerah yang telah disyahkan dan/atau diundangkan maka pengesahan perjanjian kerjasama para pihak yang belum diperbaharui tidak dapat dijadikan dalil untuk tidak mematuhi semua sifat hukum pada peraturan yang dimaksud. Apalagi tidak pernah dilakukan rekonsiliasi ataupun verivali (Verifikasi dan Validasi) data sebelum dilakukan tindakan penyetoran retrebusi.
Tidak diketahui secara pasti apakah pada kegiatan pemungutan tersebut diikuti dengan keterangan yang menerangkan bahwa pungutan tersebut diikuti dengan pemberian insentive bagi pihak-pihak tertentu maka hal itu akan menambah indicator perbuatan melawan hukum (PMH) dengan maksud dan tujuan untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain.
Suatu tindakan atau perbuatan yang mencerminkan bahwa oknum yang terkait atau berhubungan dengan persoalan retrebusi persampahan adalah pejabat-pejabat yang tidak mengerti Azaz-azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yaitu adalah beberapa prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan sesuatu Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Tinggal bagaimana Aparat Penegak Hukum dalam melakukan pembuktian atas fakta administrasi atau fakta hukum yang disajikan di dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan yang dimaksud, Apakah fakta tersebut menunjukan adanya perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana pendapat E. Utrecht, menyatakan bahwa istilah peristiwa pidana sering disebut delik, karena peristiwa tersebut merupakan suatu perbuatan atau sesuatu yang melalaikan maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan melalaikan).
Ataupun sebagaimana pendapat Moeljatno, yang merujuk pada perbuatan yang dilarang dan dapat dikenakan sanksi pidana oleh undang-undang kepada siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut juga harus dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan dalam tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.(Penulis Adalah -Direktur Eksekutive LSM Sembilan)
0 Komentar