Pasar Gelap Kekuasaan Pemanfaatan Aset Negara/Daerah



Mengutip dari berbagai sumber tentang sejarah Car Free Day (CFD) ternyata sudah dimulai sejak era tahun 1950-an di Belanda dan Belgia, yaitu suatu hasil dari pemikiran rasional sebagai suatu tanggapan terhadap masalah perkotaan yang disebabkan atau diakibatkan oleh tingginya angka penggunaan mobil.

Program yang dalam bahasa Inggris disebut dengan Car Free Day yang jika diartikan secara harfiah ataupun diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia diartikan dengan arti Hari Bebas Kendaraan Bermotor.

Suatu kebijakan yang lebih berlandaskan pada norma ataupun kaidah hukum lingkungan yaitu untuk mengurangi polusi udara atau menekan volume emisi kendaraan, memberikan ruang bagi masyarakat untuk berolahraga, dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya lingkungan yang bersih dan sehat serta dapat juga sebagai suatu momentum untuk memperkuat solidaritas sosial, dengan tidak mempergunakan kendaraan yang menggunakan mesin ataupun bermotor.

Belakangan lahirlah pemikiran ikut-ikutan atau hasil menjiplak kebijakan orang lain dengan melaksanakan kegiatan serupa yang diberi label dengan sebutan Car Free Night.

Dengan Program Car Free Day tersebut diharapkan agar dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat urban dan memberi motivasi perubahan perilaku yang lebih ramah lingkungan atau lebih berlandaskan pada norma atau kaidah Hukum Lingkungan. 

Perkembangan program Car Free Day di Eropa sendiri semakin populer dan pada era tahun 1990-an, dan akhirnya diluncurkan secara resmi sebagai bagian dari European Mobility Week pada tahun 2000, yang menandai langkah penting dalam mendorong mobilitas berkelanjutan. 

Akan tetapi konsep tersebut yang secara global diperingati sebagai World Car Free Day atau Hari Bebas Kendaraan Bermotor Sedunia pada setiap tanggal 22 September telah mengalami badai pemikiran ambigu dengan multy tafsir terhadap kebijakan yang dicanangkan. 

Salah satu pemikiran ambigu dengan multy tafsir atas dalih dan dalil yang dipergunakan untuk melakukan pembenaran atas suatu keinginan pelaksanaan kebijakan kekuasaan yaitu dengan menjadikan Hari atau Malam Bebas Kendaraan Bermotor (Car Free Day ataupun Car Free Night) sebagai sebuah ajang pasar gelap kekuasaan pengelolaan dan pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah.

Suatu ajang untuk mendapatkan PAD dengan cara memanfaatkan fasilitas umum milik negara untuk dilakukan komersialisasi dengan cara memberikan hak sewa atau disewakan kepada pihak para pedagang yang dikatakan sebagai pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai pelengkap dalih dan dalil pada argumentasi kepentingan.   

Namun aksi sewa menyewa tempat dengan ukuran ± 1 x 2 Meter per lapak tempat berjualan yang terletak di sepanjang ruas jalan Jenderal Ahmad Yani ataupun di kawasan perkantoran pemerintah tersebut tidak diketahui secara pasti sejauh mana memberikan kontribusi pada PAD ataupun Pendapatan Asli Daerah.

Serta apa yang menjadi dasar hukum daripada penetapan tarif sewa tempat atau sewa pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah tersebut.
 
Walaupun dikatakan kegiatan tersebut telah mendapatkan restu dan/atau izin dari Pemerintah Provinsi Jambi akan tetapi sepanjang yang diketahui kegiatan dimaksud tidak didukung dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) dan/atau setidak-tidaknya dipayungi dengan payung hukum berupa Peraturan Kepala Daerah (Perkada/Peraturan Gubernur/Pergub).

Seharusnya dengan Payung ataupun Dasar Hukum tersebut  dapat ditetapkan secara halal atau syah besaran nilai sewa dan mekanisme pembayarannya atas sesuatu yang dikatakan sebagai suatu kewajiban bagi pedagang ataupun penyewa, hingga pungutan tersebut tidak berdasarkan hukum rimba yang menghalalkan segala cara menurut keinginan nafsu serakah ambisi kekuasaan gaya hidup.

Dari pungutan yang dilakukan oleh seseorang yang mengaku berada dibawah kepemimpinan atau berkerjasama dengan salah seorang oknum petinggi di Sekretariat Pemerintahan Daerah Provinsi Jambi yaitu sebesar Rp. 1.500.000,00 (Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) per petak lapak per triwulan atau senilai Rp. 500.000,00 (Lima Ratus Ribu Rupiah) per lapak perbulan.

Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun di lapangan dan dengan berdasarkan akumulasi pedagang peserta kegiatan atau penyewa tempat tersebut yaitu antara 100 (Seratus)-200 sampai dengan 200 (Dua Ratus) pedagang maka secara matematis akan didapat hasil pungutan yang diduga sebagai hasil pungli tersebut yaitu sebesar antara Rp.50.000.000,00-100.000.000,00 (Lima Puluh sampai dengan Seratus Juta Rupiah) per bulan atau dengan asumsi nilai nominal sebesar antara Rp. 600.000.000,00-Rp.1.200.000.000,00 (Enam Ratus Juta sampai dengan Satu Miliar Dua Ratus Juta Rupiah) per tahun. 

Tinggal bagaimana hukum dengan segala instrumentnya dapat membuktikan sejauh mana penetapan besaran nilai sewa dan mekanisme pelaksanaan atau tata cara pemungutan sewa tersebut bukan merupakan tindakan Pungli karena telah dinaungi ataupun memiliki payung ataupun dasar hukum.

Dengan begitu diharap agar tidak timbul ataupun lahir krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah beserta institusi penegakan hukum, yang menilai bahwa hukum tajam kebawah tumpul keatas.

Serta sejauhmana keabsyahan ataupun halal kegiatan pemanfaatan dan komersialisasi tersebut menurut hukum antara lain sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, serta sejauh mana kebijakan tersebut dapat dibenarkan karena telah berlandaskan dengan Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Salah satu amanat konstitusional tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah 28 tahun 2020 dimaksud yang pada intinya mengatur tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah dapat dilakukan terhadap barang-barang “yang tidak digunakan” untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga ataupun tupoksi satuan kerja perangkat daerah (SKPD). 

Secara konstitusional ketentuan diatas mengatur bahwa Barang Milik Negara/Daerah yang dapat dimanfaatkan atau dilakukan komersialisasi bukan sebagaimana yang terjadi di lokasi pelaksanaan Hari dan Malam Bebas Kendaraan Bermotor di sepanjang ruas jalan Jenderal Ahmad Yani Kelurahan dan/atau dalam wilayah Kecamatan Telanaipura ataupun kawasan perkantoran urusan Pemerintahan baik instansi vertikal maupun urusan Pemerintahan Daerah.

Dalam hal melihat tentang penetapan nilai dan mekanisme ataupun tata cara pemungutan sewa tempat yang dimaksud dilakukan dengan merujuk pada defenisi yuridis dan/atau berdasarkan analisis kriminologis sebagaimana yang dilansir oleh Wikipedia yang menerangkan bahwa defenisi daripada Pungutan Liar ataupun Pungli adalah suatu pengenaan biaya ditempat yang tidak seharusnya biaya tersebut dikenakan ataupun dipungut karena didorong oleh berbagai kepentingan pribadi.

Sehingga pungutan sebagaimana di atas dalam rangka pemanfaatan ataupun komersialisasi terhadap Barang Milik Negara/ Daerah sebagaimana uraian/paparan diatas kiranya tidak dapat dikatakan bukan merupakan Pungutan Liar (Pungli) dan penghasilan tersebut tidak pula dapat dikatakan sebagai suatu penghasilan yang syah ataupun halal sebagai salah satu sumber PAD menurut hukum.

Hanya syah berdasarkan pembenaran oleh keinginan untuk selalu merasa yang paling benar di lingkaran pasar gelap kekuasaan, dan nama-nama yang terlibat dalam kegiatan tersebut lebih pantas untuk dinilai atau dikatakan telah melakukan suatu tindakan pengkhianatan terhadap sumpah jabatan yang dilakukan dengan cara menghadirkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai saksi.  

Secara normative jika hal tersebut benar-benar terjadi dengan adanya suatu bentuk konspirasi dan/atau kolaborasi antara salah satu oknum pejabat daerah pada Sekretariat Pemerintahan Daerah Provinsi Jambi dengan seseorang yang warga Sipil yang telah diberikan hak dan/atau kewenangan untuk berbuat dan/atau bertindak atas nama Pemerintahan Daerah Provinsi Jambi.

Dengan hak dan kewenangan yang dapat dipergunakan untuk melakukan proses rekruitment penyewa tempat dan menentukan nilai besaran dan menerima hasil pungutan tanpa dasar hukum artinya Pemerintah Provinsi Jambi telah menciptakan suatu kebijakan yang terlahir dari pikiran sesat atau cacat logika ataupun Pemerintah Provinsi Jambi dengan sengaja telah melakukan produksi industri aksi Premanisme.(Penulis Adalah -Direktur Eksekutive LSM Sembilan)

BERITA LAINNYA

Posting Komentar

0 Komentar