Oleh: Jamhuri
Seharusnya Pemerintahan Kabupaten Muaro Jambi banyak-banyak memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberikan warga masyarakat yang begitu santun untuk tidak mempermalukan mereka dengan melakukan proses hukum atas kegagalan pemerintah dalam melakukan tugas pokok dan fungsinya sebagai penyelenggara system pemerintahan pada negara kesejahteraan (Welfare State).
Masyarakat yang berada di empat desa yaitu Tantan, Kedotan, dan Ranto Majo serta Kranggan Kecamatan Sekernan, yang melakukan aksi turun kejalan mengingatkan Pemerintah tentang kondisi di desa mereka yang telah menelan korban dengan terjadinya kecelakaan lalu lintas akibat buruknya kondisi jalan yang ada.
Sikap masyarakat tersebut sekaligus mengingatkan pemerintah bahwa kekuasaan yang didapat atau diemban berasal dari amanat atau titipan rakyat atau masyarakat.
Suatu gerakan moril yang didasari dengan kesadaran masyarakat bahwa keadaan jalan yang jelek tidak disebabkan oleh karena faktor alam akan tetapi lebih disebabkan oleh cara berpikir dan memandang kekuasaan yang dilakukan secara keliru dan mengabaikan etika moral dan norma atau kaidah hukum yang berlaku dinegara yang menganut paham negara hukum.
Aksi tersebut sekaligus merupakan suatu perwujudan secara nyata gagalnya Pemilihan Umum ataupun gagalnya pelaksanaan “Reses”, masa di mana anggota dewan (parlemen) yang menyandang status sebagai wakil rakyat melakukan kegiatan di luar masa sidang atau mengunjungi daerah pemilihan masing-masing dan gagalnya Pemilihan Kepala Daerah.
Bisa jadi merupakan aksi tersebut yang memberikan signelement kepada Aparat Penegak Hukum yang mengindikasikan kegiatan tersebut (reses) merupakan suatu kegiatan piktif dan/atau setidak-tidaknya suatu pembuktian jeleknya komunikasi politik kekuasaan antara Legislative dan Eksekutive Kabupaten Muaro Jambi dalam melayani dan mengayomi serta melindungi masyarakat.
Sederhananya pada umumnya Kabupaten Muaro Jambi dan Kecamatan Sekernan khususnya empat desa tersebut atau pun daerah setempat walaupun dilengkapi dengan reses dan keberadaan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa yang justru menunjukkan bahwa daerah setempat telah dikelola dan diurus serta dipimpin oleh sosok yang salah.
Hingga membuat masyarakat gagal merasakan kehadiran negara ditengah-tengah mereka, pada saat terjadinya sesuatu yang meresahkan dalam proses kehidupan yang dijalani.
Sebenarnya secara normative dalam prinsip persamaan hak dihadapan hukum yang sekaligus merupakan manipestasi paham demokrasi dimana kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat atau masyarakat serta perwujudan secara nyata paham yang dianut oleh negara yaitu Negara Hukum.
Dimana Pemerintah bukanlah merupakan suatu lembaga kekuasaan yang kebal hukum, untuk itu pemerintah dapat digugat melalui gugatan warga negara yang dikenal dengan sebutan “citizen lawsuit”.
Yaitu suatu mekanisme bagi warga negara untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atau pemerintah atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara.
Prinsip hukum yang mengatur bahwa Pemerintah dapat digugat oleh masyarakat sipil maupun organisasi kemasyarakatan lainnya terkait ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.
Dimana melalui mekanisme gugatan tersebut, pemerintah dapat dihukum dengan membayar ganti rugi kepada masyarakat.
Walaupun normativenya gugatan tersebut diajukan bukan bertujuan untuk ganti rugi secara riil, melainkan untuk menciptakan atau melahirkan suatu tatanan pemerintahan yang memiliki rasa malu dan kesadaran atau sadar diri sebagai hamba sahaya pemuas kebutuhan hajat hidup masyarakat, bukan penikmat kekuasaan yang diperoleh sebagai hak waris seperti dalam pemerintahan system kerajaan.
Upaya moril yang bertujuan atau berdaya guna untuk mendorong pemerintah agar lebih serius dalam melaksanakan kewajibannya dengan menggunakan Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) serta sakralnya Sumpah Jabatan yang menghadirkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai saksi untuk menerima limpahan kekuasaan.
Kekuatan hak paksa yang dapat dipergunakan untuk melakukan suatu tindakan dalam upaya melihat persoalan yang dirasakan oleh masyarakat ataupun keresahan yang terjadi dan telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Dalam gugatan citizen law suit yang menjadi pihak tergugat adalah penyelenggara negara, bisa ditujukan kepada presiden hingga sampai kepada pejabat level pemerintahan terendah di daerah yang dianggap melakukan kelalaian dalam memenuhi hak-hak dasar warga negaranya.
Gugatan yang telahir dari sikap pemerintah yang dinilai lebih merupakan suatu “Kelalaian”, daripada pengabdian, yaitu suatu sikap yang dapat dijadikan dalil sebagai perbuatan melawan hukum, sehingga gugatan tersebut (citizen law suit) diajukan pada lingkup peradilan umum berupa perkara perdata.
Atas dasar kelalaiannya, maka dalam poin-poin yang berisi tuntutan (petitum), negara dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat mengatur agar kelalaian tersebut tidak lagi berlanjut dan tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Dimana sebagai pihak penggugat di dalam citizen law suit merupakan warga negara yang mengatasnamakan warga negara dan cukup membuktikan bahwa dirinya adalah warga negara Indonesia.
Penggugat tidak harus warga negara yang dirugikan secara langsung, oleh sebab itu penggugat tidak harus membuktikan kerugian materiil yang dirasakan sebagai dasar gugatan, yang dalam prakteknya dilakukan dengan memberikan pemberitahuan berupa somasi kepada penyelenggara negara yang berisi bahwa akan diajukan suatu gugatan warga negara atas kelalaian dalam memenuhi hak warga negara dan memberikan kesempatan bagi negara untuk memenuhi hak-hak tersebut jika tidak ingin gugatan diajukan.
Proses Hukum yang menyadarkan Pemerintah bahwa dalam mengurus negara atau suatu daerah tidak hanya sekedar angan-angan atau retorika kekuasaan semata akan tetapi dituntut pengabdian yang dilengkapi oleh kesadaran diri yang diawali dengan quotes (semboyan) “pengabdian kepada masyarakat diawali dengan kekuasaan menaklukan birahi kepentingan kekuasaan”.(Penulis Adalah -Direktur Eksekutive LSM Sembilan)
0 Komentar