Kisah Raden Adjeng Kartini Pahlawan Emansipasi Dinikahi Duda 7 Anak Wafat Usai Melahirkan

Raden Adjeng (RA) Kartini.

Jambi, J24 - Raden Adjeng Kartini atau yang lebih dikenal sebagai R.A Kartini, merupakan salah satu tokoh emansipasi perempuan yang namanya terus diceritakan. Kartini berjuang tanpa lelah demi membawa perempuan Indonesia mendapatkan kesetaraan gender di setiap lapisan sosial.

R.A Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara Provinsi Jawa Tengah. Kartini tumbuh di lingkungan bangsawan Jawa yang saat itu masih memegang erat tradisi dan adat istiadat.

Meski memiliki keterbatasan sebagai perempuan, Kartini tetap menunjukkan semangatnya dalam belajar. Tidak hanya itu, ia juga memiliki pemikiran terbuka dari orang-orang di zamannya.

Kisah Kartini pun telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Namun, hanya sedikit yang membahas tentang kisah cinta semasa hidup Raden Ajeng (RA) Kartini.

Diceritakan dalam buku R.A Kartini karya Imron Rosyadi, Kartini lahir dari pasangan Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dengan M.A Ngasirah.

RA. Kartini bersama suami Djojo Adiningrat Bupati Rembang.

Pada masa itu, pria bangsawan dari keluarga ningrat harus menikah dengan perempuan dari keluarga yang setara. Karena itu, pada tahun 1875, ayahnya menikah lagi dengan Raden Ayu Muryam yang merupakan keturunan Raja Madura. Setelah sang Ayah menikah, Kartini kemudian memiliki adik tiri bernama Roekmini dan Kardinah.

Pada 1903 Kartini berhasil mendirikan sekolah bagi perempuan di Jepara. Namun, baru sebulan menjalin kesibukan sebagai seorang guru, sang Ayah pun menerima surat lamaran dari Bupati Djojo Adiningrat dari Rembang untuk Kartini.

Calon suami Kartini merupakan seorang pria yang sudah memiliki tujuh orang anak dan masih memiliki dua istri. Istri pertamanya adalah seorang Raden Ayu, dan sudah tutup usia. Sedangkan dua istri lainnya bukan dari kalangan bangsawan. Oleh karena itu, sang Bupati ingin Kartini untuk menggantikan posisi istrinya yang pertama.

Melihat sang ayah yang sudah sakit-sakitan membuat Kartini merasa pernikahan adalah obat yang paling ampuh, agar ayah sembuh. Kartinipun kemudian menyerah dan memutuskan untuk menerima lamaran meski hatinya hancur.

"Saya (kini) adalah tunangan Bupati Rembang, seorang duda dengan tujuh anak dan dua istri (selir). Mahkota saya sudah lenyap dari dahi saya. Sekarang saya tidak lebih sedikit pun dari sisanya," tulis Kartini dalam sebuah surat pada tanggal 10 dan 14 Juli 1903.

"Saya seperti ribuan perempuan lainnya yang hendak saya tolong, tetapi yang (ternyata) jumlahnya hanya saya tambah saja," sambungnya.

Usai memutuskan untuk menerima lamaran Bupati Rembang, Kartini pun menikah pada 8 November 1903. Dalam surat yang ditulisnya, Kartini menceritakan tentang prosesi lamaran hingga acara pernikahan yang berlangsung sederhana.

Kartini hanya memakai untaian bunga melati tanpa baju pengantin. Ia juga tak berlutut dan mencium kaki suaminya. Ini adalah salah satu syarat yang diajukan Kartini sebelum ia menikah sebagai bukti perjuangan emansipasinya.

Tiga hari setelah menikah, Kartini kemudian dibawa oleh sang suami ke Rembang. Ia pun berkumpul dengan dua istri lainnya dan anak-anak tirinya. Sebelum menerima lamaran Djojo Adiningrat, Kartini mengajukan dua buah persyaratan yang harus dipenuhi. 

Adapun persyarakatan yang diajukan Kartini tersebut adalah: Pertama, Djojo Adiningrat tidak boleh menghalangi cita-citanya untuk membuka sekolah dan Kedua Ia diperbolehkan untuk mengajar seperti yang ia lakukan di Jepara.

Kedua syarat itu pun dipenuhi oleh sang Bupati Rembang atau suaminya. Setelah menikah dan menjadi istri Bupati, keseharian Kartini tak jauh dari mengurus suami dan anak-anak tirinya.

Periode kehidupan di Rembang adalah masa kemunduran bagi seorang Kartini. Terlihat dalam surat yang ia tuliskan, kebanyakan ia hanya memuji suaminya dan mengungkapkan kegembiraannya karena bisa mengurus anak-anak tirinya.

Setelah menikah, Kartini pun dikaruniai anak pertama. Sayangnya, kebahagiaan ini tidak bisa ia rasakan sepenuhnya. Pada usianya yang baru menginjak 25 tahun, ia akan menjadi seorang ibu. Kartini yang berada dalam keadaan hamil tua masih bisa menuliskan surat-surat. Ia mengatakan bahwa ia sudah menyiapkan sudut untuk si bayi dan tempat tidurnya saat ia harus mengajar.

Pada tanggal 13 September 1904, Kartini pun melahirkan putra pertamanya yang diberi nama Raden Mas Sooesalit. Pada tanggal 17 September 1904, dr. Van Ravesteyn datang untuk memeriksakan keadaan Kartini. Namun, Kartini dalam keadaan baik dan tidak mengkhawatirkan keadaannya setelah melahirkan.

Tidak lama setelah sang dokter meninggalkan Kartini, tiba-tiba Kartini merasakan sakit yang luar biasa dari dalam perutnya, dr Van Ravesteyn pun langsung bergegas datang kembali untuk memeriksa kesehatan Kartini. Menurutnya, perubahan kesehatan Kartini terjadi dengan sangat drastis dan mendadak. Setengah jam kemudian, dokter Van Ravesteyin tidak bisa menyelamatkan nyawa Kartini.

Akhirnya Kartinipun menghembuskan napas terakhir, kematian Kartini yang tiba-tiba tersebut sempat menjadi buah bibir di masyarakat. Banyak yang mengira Kartini telah diguna-guna, dibunuh, bahkan diracuni. Meski begitu, pihak keluarga tidak ingin menggali permasalahan ini lebih dalam dan menyatakan bahwa Kartini meninggal setelah melahirkan anak pertamanya. 

Adapun kalimat terkenal yang sangat identik dengan RA Kartini adalah, “Habis gelap, terbitlah terang.” Ia menjadi sosok perempuan yang membuat para wanita saat itu bisa mempunyai kebebasan untuk menuntut ilmu dan mempunyai kesetaraan dengan laki-laki.

Setelah wafat, Raden Adjeng (RA) Kartini dianugerahi gelar, "Pahlawan Nasional Indonesia" oleh Presiden RI Ir Soekarno pada 2 Mei 1964 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964.

Presiden Soekarno juga menetapkan hari lahir Kartini 21 April sebagai Hari Kartini untuk menghormati jasa-jasa RA Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia. (Berbagai Sumber, J24/FS).

BERITA LAINNYA

Posting Komentar

0 Komentar