Oleh: Jamhuri
Mungkin diantara Implementasi dari Kekuatan Pikiran (Brain Power) mempengaruhi dunia yaitu menyangkut tentang perkembangan masalah atau gejolak social, yang tidak hanya terjadi dalam isi kepala ataupun otak manusia saja akan tetapi pada domain kelembagaan ataupun sesuatu lembaga ataupun organisasi baik yang bersifat sosial maupun organisasi kekuasaan.
Domain-domain tersebut pada gilirannya nanti akan dibentuk oleh beberapa faktor lingkungan yang diantaranya adalah pengaruh Budaya dan Norma Sosial.
Karena Budaya itu sendiri memiliki pengertian pikiran ataupun akal budi, dan budaya merupakan aspek lingkungan sosial yang sangat memengaruhi prilaku.
Norma-norma sosial yang berlaku dalam suatu budaya menentukan apa yang dianggap pantas atau tidak pantas dilakukan oleh individu.
Dengan pikiran pula manusia mengadopsi budaya pemenuhan kebutuhan dan gaya hidup dalam rangka pemenuhan strata statifikasi sosial, serta dengan pikiran yang dilandasi dengan ilmu pengetahuan dan/atau kesadaran manusia dapat membedakan antara kebaikan dan kejahatan, bahkan dengan pikiran manusia mengabaikan norma dan/atau kaidah hukum dengan segala konsekwensinya yang mengikat setiap pribadi atau individu.
Termasuk mengabaikan nilai-nilai konstitusional sebagai pedoman ataupun tolak ukur berpikir yang mengatur bahwa dalam rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diperlukan kaidah-kaidah hukum administrasi keuangan negara yang mengatur tentang perbendaharaan negara.
Berupa norma dan kaidah-kaidah hukum administrasi keuangan negara yang mengatur tata cara pengelolaan dan pertanggungjawaban terhadap pengeolaan perbendaharaan negara salah satunya sebagaimana pada ketentuan Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menetapkan bahwa Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.
Lebih lanjut amanat konstitusional dari Undang-Undang Perbendaharaan Negara tersebut mengatur tentang tugas pokok dan fungsi pemerintah berbuat dan bertindak atas nama negara berusaha memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyat sebagaimana konsep paham negara kesejahteraan (welfare state).
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 yang dimaksud menentukan bahwa untuk pengelolaan keuangan negara, perlu dilakukan pelurusan kembali pengelolaan keuangan pemerintah dengan menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance) yang sesuai dengan lingkungan pemerintahan pada suatu negara yang menganut paham negara kesejahteraan (Welfare State).
Suatu ketentuan yang selaras dengan point-point Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang tercantum di dalam dalam 7 (tujuh) Undang-Undang yang berbeda, antara lain yaitu: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Setelah itu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 atau yang dikenal dengan sebutan Undang-Undang Anti KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) serta setelah dikeluarkannya Undang-Undang PTUN tahun 2004 (sebagai perubahan dari UU PTUN 1986) dan disahkannya ketentuan menyangkut Administrasi Pemerintahan, AUPB telah dirumuskan menjadi norma hukum tertulis.
Pengaturan AUPB secara eksplisit dapat ditemukan sedikitnya tersebar dalam 12 (dua belas) Pasal pada Undang-Undang Administrasi Pemerintah 2014, yaitu pada Pasal 1, 5, 7, 8, 9, 10, 24, 31, 39, 52, 66, dan Pasal 87. Selain dari itu, Undang-Undang tersebut juga menempatkan AUPB sebagai norma yang terbuka, artinya Undang-Undang tetap mengakui kekuatan mengikat dari AUPB yang tidak tertulis.
Berdasarkan telaah atas 7 (tujuh) Undang-Undang, doktrin hukum, dan yurisprudensi perkara Tata Usaha Negara, didapat beberapa kesimpulan, antara lain Kedudukan AUPB sebagai norma hukum positif telah menempatkan AUPB sebagai asas yang mengikat kuat, yang sebagian besar telah menjadi norma hukum tertulis dan sebagian lainnya merupakan prinsip yang tidak tertulis.
Ketentuan dengan kekuatan mengikat yang menjadi rambu-rambu agar para pejabat baik daerah maupun negara tidak menjadi monster-monster lapar yang haus gaya hidup kemewahan sebagai bagian dari kelompok penganut paham Manusia Srigala bagi Manusia lainnya (Homo homini Lupus) atau sebagai budak hawa napsu pelaksana praktek penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power).
Pejabat-pejabat yang ingat dan sadar akan harkat dan martabat serta harga diri dengan tidak menjadi pelacur atau melacurkan diri pada birahi kekuasaan birokrasi dalam pelaksanaan konsep negara kesejahteraan (Welfare State) sebagaimana yang dipopulerkan oleh oleh AM Donner sebagaimana yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon dengan sebutan ‘sociaal rechtstaat’ pemerintah dituntut campur tangan dalam pengelolaan urusan rakyatnya. Negara tidak boleh lepas tangan terhadap urusan- urusan rakyatnya.
Suatu konsep pelaksanaan kekuasaan pemerintah dengan kewajiban berupa campur tangan atau dengan bahasa lainnya dapat dikatakan negara hadir ditengah-tengah masyakat sesuai dengan tujuan negara sebagaimana amanat konstitusional yang berlaku, atau suatu rezim kekuasaan yang tidak dihuni oleh makhluk-makhluk biadab yang berbuat dengan sesuka hatinya dengan cara berpura-pura ataupun dengan mengatasnamakan kepentingan negara dan bangsa suatu praktek pemikiran kotor penganut dan penyembah paham diktator.
Dengan kesadaran harkat dan martabat serta kehormatan makhluk mulia atau sebagai manusia yang penuh kesadaran mengingat jabatan dan kekuasaan dilaksanakan dengan sepenuhnya berpedoman pada ketentuan sebagaimana etika moral dan peradaban bangsa serta norma atau kaidah hukum yang berlaku.
Termasuk dalam hal melakukan pengelolaan dan pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan sederhana yaitu “Aset” yang dilakukan dengan sepenuh hati berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan etika moral dan peradaban bangsa serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengelolaan yang dilakukan dengan tidak mengedepankan bahasa ambigu ataupun multy tafsir sebagai upaya melakukan pembenaran, terhadap perbuatan yang terindikasi ataupun terkesan merupakan perbuatan melawan hukum.
Dimana dalam penetapan besaran nilai sewa BMN/D di sepanjang ruas jalan Jendral Ahmad Yani ataupun di kawasan perkantoran pemerintahan baik instansi Vertikal seperti Bank Indonesia, Kejaksaan dan Pengadilan serta beberapa institusi lainnya disinyalir telah terjadi perbuatan melawan hukum berupa Pungutan Liar (Pungli).
Dugaan Pungli terlahir dari adanya perbuatan yang disamping tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 sebagaimana diatas serta patut diduga kuat untuk diyakini telah terjadi sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang yang sama dimana ditenggarai kegiatan tersebut tidak didukung atau dilengkapi dengan payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda).
Jika perbuatan sebagaimana yang didugakan diatas benar-benar dapat dibuktikan secara syah dan meyakinkan dihadapan hukum artinya perbuatan yang dilakukan dengan cara melakukan Kolaborasi dan/atau Konspirasi antara dua insan yang berbeda latar belakang dan status sosial serta kelembagaan atau dengan kata lain adanya dua sosok yang berbeda, salah satu diantaranya bertindak sebagai pelacur dan pihak lainnya sebagai pelaku pemerkosaan terhadap kekuasaan birokrasi penguasa.
Terlepas dari persoalan fiksi hukum, dari segi etika moral dan akhlak jabatan serta peradaban bangsa seharusnya pihak-pihak yang terduga sebagai pelaku pada kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah menyadari dan mengetahui bahwa yang mereka kelola bukan hak milik perseorangan ataupun pribadi ataupun bukan merupakan hak waris.
Maka sudah sepatutnya terutama pejabat daerah mengerti benar bahwa secara spesifik bentuk kerjasama yang dilakukan merupakan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 angka (3), (4), dan (5) serta angka (9) Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Dengan merujuk pada kaidah atau norma serta azaz ataupun prinsip hukum maka menyangkut informasi tentang kegiatan sewa menyewa antara pihak penyelenggara kegiatan Car Free Day atau Car Free Night diatas Barang Milik Negara/Daerah atau aset sebagaimana diatas serta dengan memperhatikan AUPB patut diduga kuat untuk diyakini baik sebagian maupun secara keseluruhan dari perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan yang termasuk pada kategori tindak pidana yaitu berupa Pungutan Liar (Pungli).
Sebagaimana dugaan diatas dan jika dugaan berikut juga terbukti secara syah dan meyakinkan dihadapan hukum dan dengan mengingat bahwa salah satu pihak yang terduga sebagai pelaku berstatus sebagai pejabat daerah (Aparatur Sipil Negara-ASN) maka patut diduga kuat untuk diyakini yang bersangkutan telah dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum dan/atau melakukan sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 12 huruf (e) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan amanat: “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.(Penulis Adalah -Direktur Eksekutive LSM Sembilan)
0 Komentar